Showing posts with label bakteri. Show all posts
Showing posts with label bakteri. Show all posts

Thursday, December 8, 2011

"Pabrik" Bakteri Bernama Rokok

KOMPAS.com - Dalam urusan kandungan zat toksik, rokok mungkin juaranya. Namun rokok ternyata juga tak kalah dalam kandungan bakteri. Para ilmuwan dari Universitas of Maryland mengatakan, berdasarkan penelitian DNA yang dilakukan diketahui bahwa rokok terkontaminasi oleh ratusan tipe bakteri. Ini berarti, mungkin jumlah bakteri dalam rokok setinggi dengan kandungan bahan kimia.

"Beberapa rokok yang kami tes ternyata dipenuhi bakteri, seperti hipotesa kami selama ini. Namun kami tidak menyangka jumlahnya sebanyak ini dan bisa menginfeksi manusia," kata Amy R. Sapkota, asisten profesor dan peneliti dari University of Maryland School of Public Health.

Dalam risetnya, Sapkota dan ahli mikrobioal ekologi menguji kandungan bakteri dalam beberapa merek rokok yang cukup populer, yakni C, KFK, LS, dan M dan menemukan empat jenis bakteri yang serupa pada masing-masing rokok.

Berbagai jenis bakteri tersebut berkaitan dengan infeksi yang terjadi di paru-paru, darah, dan polusi udara. Bakteri yang berhasil diidentifikasi oleh para peneliti antara lain Acinetobacter (infeksi paru dan darah), Bacillus (berkaitan dengan anthrax dan keracunan makanan), Burkholderia (beberapa tipenya menyebabkan infeksi saluran napas), Klebsiella (infeksi paru dan darah), serta Pseudomonas aeruginosa (tipe bakteri yang menyebabkan 10 % infeksi di rumah sakit).

Menurut Sapkota, bila bakteri tersebut bisa bertahan dalam proses merokok, dan diduga mereka pasti mampu, besar kemungkinan bakteri-bakteri ini akan menyebabkan infeksi dan penyakit kronik pada perokok dan perokok pasif.

Kendati implikasi bakteri ini bagi kesehatan manusia masih belum jelas, namun para peneliti berencana untuk melanjutkan riset mereka untuk memahami kaitannya dengan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok. Pertanyaan besar yang masih harus dijawab adalah apakah bakteri tadi mampu bertahan dalam proses pembakaran rokok lalu masuk ke dalam paru perokok dan tinggal di sana.





*otak manusia selalu dipenuhi oleh berbagai macam hal atau usaha bagaimana menyenangkan diri sendiri, dan mungkin untuk mencapai hal itu akan digunakan berbagai macam cara, baik cara menurutnya benar ataupun kalau perlu menggunakan cara yang sebetulnya ia mengetahui persis bahwa cara itu salah. Semua cara akan dibungkus oleh pembenaran – pembenaran yang dibuat sedemikian rupa agar bisa diterima oleh orang lain. Cara seperti ini akan secara turun temurun diturunkan, sehingga akan menjadi semacam budaya yang akan dianggap benar oleh keturunannya.

Contoh yang paling mudah di zaman sekarang adalah soal MEROKOK. Dorongan untuk MEROKOK sangat kuat karena diajarkan oleh lingkungan dan pergaulan, dan ketika sudah memulai, maka akan sangat sulit untuk menghentikannya.

Di dalam rokok ada zat-zat berbahaya yang membuat pemakainya menjadi merasa enak dan membuatnya ketagihan. Padahal semua perokok tahu persis, bahwa yang dilakukannya itu salah, dan rokok mengandung berbagai macam zat berbahaya yang akan merusaknya dalam waktu tidak seketika seperti KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, GANGGUAN KEHAMILAN dan GANGGUAN PADA JANIN.

Bahkan yang sebetulnya paling dirugikan adalah para perokok pasif. Mereka yang tidak merokok akan menghisap asap rokok dari hidung dan langsung ke paru-paru, dan itu secara lambat laun akan merusak kesehatan mereka, terutama pada anak-anak. Akan tetapi para perokok itu sama sekali tidak perduli, kesehatan mereka saja tidak diperdulikan, apalagi kesehatan orang lain.

Hanya satu dipikiran mereka , bagaimana caranya supaya enak. Berbagai macam pembenaran dilakukan seperti merokok itu gaul, merokok itu berselera tinggi dan elite, merokok itu membantu mereka yang bekerja di pabrik rokok, merokok itu menjernihkan pikiran, dan berbagai macam alasan menyedihkan lainnya. Padahal apabila menjawab dengan jujur, mereka akan berkata bahwa ROKOK ITU ADALAH RACUN*.

*Bahan dasar dari rokok adalah Tembakau. Bangsa ATLANTIS dahulu mengembangkan sebuah tanaman bernama UMBAKA yang merupakan singkatan dari UDERHA MONGULATUS BRODEA AGRETUS KEKRIVEROS AMATHEADUS atau diterjemahkan dengan UDARA MENGOTORI BADAN UNTUK MENG-AGRESI KEPALA DAN OTAK AGAR HILANG AMANAH DAN PIKIRAN.

UMBAKA ini atau yang sekarang dikenal sebagai Tembakau, memang dirancang agar manusia yang menghisapnya menjadi ketagihan, dengan demikian mutu darahnya menjadi tidak bagus, otomatis akan menambah jumlah KLAD di badan, sehingga kemampuan akan menjadi turun secara drastis. Pola pikir mereka menjadi terbatas, tidak akan mampu membaca alam secara baik dan benar.

Begitupun perokok pasif, mereka akan bernasib sama, bahkan lebih parah karena menghisap dari hidung. Hal itu sudah diperhitungkan oleh Bangsa pengembang agar hanya Bangsa mereka lah yang maju, dan bangsa lain hanya sebagai buruh-buruh dan robot-robot mereka. Terbukti, sekarang usaha mereka berhasil. Mereka berhasil mengembangkan UMBAKA ini ke seluruh dunia, dan berhasil pula menguasai dunia.

Pelajaran untuk menyenangkan diri sendiri ini sudah sangat mengakar di masyarakat zaman sekarang.

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain." (HR. Ibnu Majah dari kitab Al-Ahkam 2340).
Allah SWT Berfirman , “Dihalalkan atas mereka apa-apa yang baik, dan diharamkan atas mereka apa-apa yang buruk .” (al-A’raf: 157).

Kuman yang Resistan Terus Bertambah

JAKARTA, KOMPAS.com — Saat ini kuman yang resistan terhadap obat terus bertambah jenisnya sehingga menyulitkan pengobatan dan biayanya pun semakin tinggi.

Demikian terungkap dalam seminar "Penggunaan Antimikroba secara Rasional" yang diselenggarakan Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Senin (21/6/2010) di Jakarta. Kegiatan itu terkait Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch pada 2-4 Juli 2010.

Pakar mikrobiologi klinik, Prof Agus Sjahrurachman, mengatakan, resistensi terhadap antimikroba adalah hal alami karena mikroba mengembangkan mekanisme mempertahankan diri. Namun, ulah manusia ikut mempercepat terjadinya resistensi dan penyebarannya. Kecepatan resistensi tidak seimbang dengan laju penemuan obat antimikroba baru. Akibatnya, penanganan penyakit semakin sulit dan biayanya pun meningkat.

Beberapa contoh kuman yang resistan antara lain Salmonella typhi yang resistan terhadap chloramphenico dan Streptococcus pneumonia terhadap makrolida baru. Mycobacterium tuberculosis yang tadinya resistan rendah terhadap INH tingkat resistensinya semakin tinggi. Bahkan, ada kasus kuman yang resistan terhadap banyak obat, contohnya Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis yang resistan pada Methicillin, Staphylococcus aureus resistan pada Vancomycin.

"Bakteri resistan itu justru banyak di rumah sakit, terutama di ruang rawat intensif, karena kegiatan pengobatan. Kuman-kuman resistan di rumah sakit itu bisa terbawa ke luar rumah sakit, kemudian menyebar," ujarnya.

Selain itu, penggunaan antibiotik sembarangan, putus obat, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit, promosi obat-obatan yang berakibat penggunaan terlalu masif, dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistansi.

Ahli penyakit dalam dari FKUI, Prof Djoko Widodo, mengungkapkan, resistansi terhadap antibiotik menjadi masalah yang terus meningkat. Guna mengendalikan resistansi itu, setiap rumah sakit seharusnya mempunyai peta kuman dengan pemeriksaan. Dengan peta kuman, diketahui kuman yang telah resistan dan pengendaliannya. Ini termasuk penatalaksanaan oleh dokter terhadap pasien.

Dokter spesialis mikrobiologi klinik, Anis Karuniawati, mengatakan, dengan adanya data hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik yang akurat, dapat disusun suatu kebijakan pemilihan antibiotik sesuai pola mikroba dan pola resistensi di rumah sakit.

Thursday, November 10, 2011

Efek Samping Mengejutkan dari Antibiotik


Jakarta, Antibiotik telah banyak digunakan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Tapi ada beberapa efek samping antibiotik yang mengejutkan dan belum banyak diketahui orang. Apa saja?

Antibiotik merupakan senyawa atau kelompok obat yang dapat mencegah perkembangbiakan berbagai bakteri dan mikroorganisme berbahaya dalam tubuh. Selain itu, antibiotik juga digunakan untuk menyembuhkan penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa dan jamur.

Tapi belum banyak orang yang tahu bahwa antibiotik juga dapat menyebabkan efek samping yang cukup membahayakan. Dilansir dari Ehow, Jumat (17/9/2010), berikut beberapa efek samping antibiotik:

1. Gangguan pencernaan
Salah satu efek samping antibiotik yang paling umum adalah masalah pencernaan, seperti diare, mual, kram, kembung dan nyeri.

2. Gangguan fungsi jantung dan tubuh lainnya
Beberapa orang yang mengonsumsi antibiotik mengalami jantung berdebar-debar, detak jantung abnormal, sakit kepala parah, masalah hati seperti penyakit kuning, masalah ginjal seperti air kecing berwarna gelap dan batu ginjal dan masalah saraf seperti kesemutan di tangan dan kaki.

3. Infeksi
Efek samping yang paling rentan dirasakan perempuan adalah infeksi jamur pada organ reproduksi yang dapat menyebabkan keputihan, gatal dan vagina mengeluarkan bau serta cairan.

4. Alergi
Orang yang mengonsumsi antibiotik juga sering mengalami alergi, bahkan hingga bertahun-tahun. Alergi yang sering terjadi adalah gatal-gatal dan pembengkakan di mulut atau tenggorokan.

5. Resistensi (kebal)
Orang yang keseringan minum antibiotik bisa mengalami resistensi atau tidak mempan lagi dengan antibiotik. Ketika seseorang resisten terhadap antibiotik, ada beberapa penyakit dan infeksi yang tidak dapat lagi diobati, sehingga memerlukan antibiotik dengan dosis lebih tinggi. Semakin tinggi dosis maka akan semakin menimbulkan efek samping yang serius dan mengancam jiwa.

6. Gangguan serius dan mengancam nyawa
Penggunaan antibiotik dosis tinggi dan dalam jangka lama dapat menimbulkan efek sampaing yang sangat serius, seperti disfungsi atau kerusakan hati, tremor (gerakan tubuh yang tidak terkontrol), penurunan sel darah putih, kerusakan otak, kerusakan ginjal, tendon pecah, koma, aritmia jantung (gangguan irama jantung) dan bahkan kematian.

Untuk menghindari efek samping antibiotik yang berbahaya tersebut, maka sangat dianjurkan untuk menggunakan antibiotik sesuai dengan dosis dan aturan pemakaian.

Merry Wahyuningsih - detikHealth

Antibiotik Kini Jadi Ancaman

JAKARTA, KOMPAS.com — Antibiotik kerap disebut sebagai magic drug karena perannya yang sangat besar dalam menekan angka kematian. Tetapi, kini antibiotik menjadi sebuah ancaman karena penggunaannya yang sembarangan dapat memicu resistensi obat.

Demikian diungkapkan pakar mikrobiologi dari Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia (UI) Prof Usman Chatib Warsa, SpMK, PhD, saat dimintai komentar merebaknya "bakteri super" di beberapa negara di dunia.

Usman menegaskan, fenomena munculnya bakteri resisten atau superbug salah satunya pemicunya adalah penggunaan antibiotik yang tidak terkendali. Selain itu, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistensi.

Menurut Usman, kabar merebaknya bakteri super di luar negeri seharusnya membuka mata masyarakat dan pemerintah. Kasus bakteri super di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, dan hal ini bisa menimbulkan ancaman serius di masa depan.

Ia meminta semua pihak untuk segera memperlakukan antibiotik secara tepat dan rasional. "Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sembarangan. Para dokter pun harus rasional dalam memberi obat dan harus dilengkapi data-data empiris. Pihak rumah sakit juga harus punya regulasi tenang penggunaan antiobiotik yang rasional," ujarnya.

Usman juga mendorong pemerintah untuk terus memperketat pengawasan penggunaan antibiotik. Kinerja tim yang dibentuk pemerintah untuk memonitor infeksi dan pengembangan resistensi obat perlu terus ditingkatkan.

Thursday, November 3, 2011

Fogging Tak Efektif Berantas DBD

SEMARANG, SABTU - Departemen Kesehatan mengingatkan, pengasapan atau "fogging" amat tidak efektif untuk memberantas penyakit demam berdarah dengue (DBD), bahkan malah berbahaya karena bisa menimbulkan resistensi terhadap nyamuk "aedes aegypti".

Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Departemen Kesehatan, Erna Tresnaningsih di Universitas Diponegoro Semarang, Sabtu mengatakan, pengasapan hanya bisa melenyapkan nyamuk dewasa namun tidak terhadap telur nyamuk yang jumlahnya ribuan.

"Nyamuk dewasa satu mati namun ribuan telur nyamuk tetap hidup dan berkembang. Nanti nyamuk bisa resisten (kebal)," katanya usai menjadi pembicara dalam "International Symposium and Workshop on Infectious and Tropical Diseases 2008" di Gedung Prof. Soedharto, Undip Tembalang.

Kegiatan ilmiah ini dihadiri sejumlah pakar dari sejumlah negara. Selain membahas masalah DBD, simposium ini juga menelaah penyaki flu burung, HIV/AIDS, dan leptospirosis, yang berlangsung hingga Minggu (18/5). Erna mengatakan, selama ini masyarakat sering mendesak di wilayahnya disemprot agar terbebas dari nyamuk pembawa penyakit DBD, padahal pengasapan tersebut tidak efektif dan menyisakan residu pestisida yang tidak sehat bagi lingkungan. Pengasapan, katanya, tidak mampu mematikan telur-telur nyamuk DBD.

Menurut dia, lebih bijaksana mencegah serangan DBD dengan menerapkan pola hidup sehat dan menjaga kebersihan lingkungan. Nyamuk aedes menyukai genangan air bersih sehingga untuk menghindari berkembang biaknya, semua media berkembang biak nyamuk ini harus dihilangkan.

Ia menyebutkan, pot-pot bunga yang ada genangan air, kemudian bagian bawah dispenser dan kulkas juga harus sering dibersihkan, sebab tempat itu dijadikan nyamuk aedes untuk bertelur dan berkembang biak.

Erna mengakui, jumlah kasus DBD di Indonesia dari waktu ke waktu terus bertambah, tetapi jumlah korban jiwa akibat serangan penyakit berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya penanganan penderita DBD.

Prevalensi penyakit ini pada tahun 2007 tercatat 71 orang per 100.000, sedangkan korban meninggal mencapai 1,010 persen per 100 penderita. "Pemerintah menargetkan menurunkan angka kematian akibat DBD ini hingga di bawah 1,0 persen," kata Erna.

Ia menambahkan, jumlah kasus berhubungan sangat erat dengan jumlah penduduk di suatu daerah karena itu kasus DBD terbanyak juga terdapat di daerah-daerah padat, seperti di Jawa dan Bali.

Sementara itu, pembicara P. Koraka, P.hD. memaparkan, upaya menemukan vaksin DBD sudah dimulai sejak 1945 oleh Sabin namun hingga sekarang belum juga diperoleh hasil yang memuaskan meskipun penelitian terus dilakukan hingga hari ini.

"DBD memang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan penyakit ini faktanya memang sulit dikontrol serta tidak mungkin dihilangkan," katanya. Karena itu, menurut Koraka, riset untuk menemukan vaksin DBD terus dilakukan. Korban jiwa akibat DBD di dunia setiap tahunnya mencapai 500.000 orang dan menyerang sekitar 50 juta penduduk dunia. "Saya masih memiliki harapan (ditemukannya) vaksin itu," katanya.

Sumber : Antara

Waspadai Infeksi di Rumah Sakit

DI SELURUH dunia, korban penyakit infeksi saat berobat di rumah sakit ditengarai terus bertambah. Bahkan diperkirakan, membunuh lebih banyak daripada virus HIV penyebab penyakit AIDS.

Sebuah penelitian terbaru menyebutkan, setiap tahunnya 48.000 orang di Amerika Serikat meninggal karena hal tersebut, umumnya karena keracunan darah atau penyakit pneumonia. Jenis infeksi rumah sakit yang paling umum adalah infeksi nosokomial.

Diperkirakan, sepertiga dari 1,7 juta infeksi di Amerika Serikat merupakan infeksi nosokomial. Di negara berkembang diperkirakan lebih dari 40 persen pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial. Sementara di seluruh dunia diperkirakan kasus infeksi ini rata-rata menimpa 9 persen, dari 1,4 juta pasien rawat inap.

“Kenyataan ini sangat mengejutkan dan seharusnya tidak terjadi,” kata Ramanan Laxminarayan PhD MPH, anggota senior lembaga penelitian Resources for the Future di Washington DC, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian tersebut seperti dikutip Webmd.

Infeksi terkait sarana pelayanan kesehatan adalah tantangan yang serius, karena hal itu dapat menyebabkan kematian, baik langsung maupun tidak langsung serta menjadikan pasien dirawat lebih lama dan memakan biaya lebih mahal. Terlebih, keadaan sosial-ekonomi Indonesia kurang menguntungkan.

Indikasi atau alasan pasien dirawat semakin ketat.
Pasien yang datang dalam keadaan parah perlu lebih lama dirawat sehingga lebih banyak membutuhkan tindakan invasif (tindakan yang masuk pada kulit atau lubang tubuh). Lemahnya daya tahan dan kecenderungan tindakan invasif tersebut memudahkan masuknya kuman penyebab infeksi.

Menurut Laxminarayan, ketika seorang pasien masuk rumah sakit untuk penyakit lain dan meninggal karena radang paru-paru atau pneumonia, itu mungkin tidak membuat keluarganya berpikir bahwa itu sebuah kesalahan. Tetapi kalau pasien yang sama pergi ke rumah sakit, lalu tercemar darah yang mengandung HIV, maka tanggapannya pasti akan sangat berbeda.

Begitu berbahayanya, infeksi ini telah membunuh warga Amerika Serikat tiga kali lebih banyak dibandingkan akibat virus HIV. Namun, data tersebut hanya melihat dari permukaan masalah saja. Hal itu karena sangat sulit memisahkan persoalan lain seperti kehidupan mereka, kesakitan, dan keuangan–dari kasus yang disebabkan penyakit dan cedera orang-orang yang datang awal ke sebuah rumah sakit.

Laxminarayan dan rekan penelitinya menganalisis data administratif, yang diperoleh dari database secara nasional mengenai catatan rumah sakit dari 69 juta penduduk tetap Amerika Serikat di 40 negara bagian pada 1998–2006. Hasilnya, setiap tahunnya 48.000 orang di Amerika Serikat meninggal karena infeksi di rumah sakit.

Penelitian ini fokus hanya pada infeksi yang diperoleh pasien di rumah sakit, dan bukan infeksi yang ditularkan di komunitasnya. Sebagian besar infeksi tersebut berasal dari penggunaan alat kateter dan ventilator. Beberapa jenis kuman dan bakteri yang ditemukan merupakan jenis yang sudah lama diketahui, tetapi sebagian merupakan kuman jenis baru, seperti MRSA yang disebut juga sebagai superbug atau “kuman super”.

Peneliti dari Johns Hopkins University, Peter J Pronovost MD PhD, yang merupakan pakar soal infeksi di rumah sakit, mengatakan bahwa studi yang dilakukan Laxminarayan dan rekan-rekan akhirnya memberikan tamparan keras kepada rumah sakit yang sering kali “ngeyel” terhadap persoalan ini. Padahal, sudah bertahun-tahun masalah ini mengemuka.

”Kematian para penderita tidak terlihat. Masyarakat juga tidak tahu. Kejadian (infeksi) terjadi dalam satu waktu, diam-diam, dan pasien tidak sadar mereka telah terinfeksi,” kata Pronovost. ”Namun, kita tahu dari penelitian soal ini bahwa ini bukan perkara biasa,” tambahnya.

Dari studi yang dilansir awal bulan ini, Pronovost dan kolega kampusnya menunjukkan bahwa hanya dengan mencatat prosedur keamanan sederhana di rumah sakit yang telah terpenuhi, serta menekankan pada kerja sama tim yang solid mulai bawahan seperti asisten perawat, hingga yang pimpinan teratas semisal dokter bedah senior, angka penderita infeksi rumah sakit dapat diturunkan hingga hampir nol kasus.

Namun, hal itu juga bukan hanya bergantung pada para tenaga medis di rumah sakit. Anda dan keluarga Anda saat berkunjung ke rumah sakit juga dapat melakukan banyak hal untuk mencegah kejadian infeksi yang mematikan tersebut hinggap di tubuh Anda. Pronovost menyebutkan sejumlah hal. Perlu diketahui bahwa beberapa item ini dapat membantu Anda memutuskan rumah sakit mana yang harus dikunjungi untuk pertama kalinya.

Pertama, tanyalah seorang dokter di rumah sakit tersebut berapa tingkat infeksi yang menyerang pembuluh darah. Jumlahnya harus atau di bawah dari satu infeksi per 1.000 kateter per hari. Tanyakan juga, apakah rumah sakit itu telah berpartisipasi dengan program nasional pencegahan infeksi ini. Lebih baik Anda memilih yang sudah berpartisipasi.

Minta juga apa-apa saja prasyarat prosedur keamanan sederhana di rumah sakit yang telah terpenuhi dan yang belum. Tanyakan juga apakah petugas medis di sana telah mencuci tangannya sebelum masuk ruangan pasien. Jika Anda menggunakan kateter, informasikan kepada perawat kapan Anda masih memerlukan alat tersebut atau tidak perlu lagi. Kateter sangat rawan akan infeksi.

Pronovost menyatakan jika rumah sakit memang memiliki niat baik untuk menyehatkan masyarakat, tentu saja penting bagi mereka untuk menjaga agar pasien infeksi tidak terus bertambah. Apabila pihak rumah sakit tidak juga mau memberikan data jumlah penderita infeksi, tidak salah kalau niat mereka diragukan.

“Ini seperti membuat resolusi Tahun Baru untuk mengurangi berat badan atau diet. Ini tentu saja tidak efektif jika Anda hanya menimbang berat badan sepanjang tahun,” katanya. Sekarang setelah tahu besarnya cakupan masalah yang ditimbulkan, Laxminarayan mengimbau pemerintah sebuah negara, khususnya Amerika Serikat, tidak menganggap remeh hal ini dan segera menyusun program upaya pencegahan yang serius dan sporadis seperti halnya kampanye anti-AIDS.

”Masyarakat harus menyuarakan ini,” tuturnya. “Tidak ada yang bisa membantah bahwa pasien ke rumah sakit harus berada pada risiko minimal. Banyak dari infeksi tersebut dapat dicegah, dan tidak ada alasan untuk tidak melakukan hal itu,” tegas Laxminarayan.

http://lifestyle.okezone.com/read/2010/03/01/27/307808/waspadai-infeksi-di-rumah-sakit

Bunuh Enterobacter dengan ASI

PARA IBU HENDAKLAH MENYUSUKAN ANAK - ANAKNYA SELAMA DUA TAHUN PENUH , YAITU BAGI YANG INGIN MENYEMPURNAKAN PENYUSUAN...
AL - BAQARAH : 233

JAKARTA, KOMPAS.COM JUMAT - Dugaan pencemaran bakteri pada produk susu dan makanan bayi yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini telah menyebabkan ibu-ibu rumah tangga menjadi resah.

Kekhawatiran para ibu akan dampak pencemaran terhadap anak-anak dan bayi sungguh wajar karena produk susu dan makanan bayi instant kini sudah menjadi sumber gizi utama bahkan sebagai pengganti ASI sekalipun.

Menurut pakar mikrobiologi dari IPB Prof Dr. Betty Sri Laksmi Jenie, pencemaran bakteri enterobacter skazakii yang ramai diperbincangkan sebenarnya tidak perlu membuat panik ibu-ibu anndaikata anak-anak dan bayi mereka pernah atau sedang mendapatkan ASI (Air Susu Ibu).

¨Dalam ASI banyak terkandung bakteri menguntungan (probiotik) yang jumlahnya mencapai miliaran. Salah satu jenis bakteri menguntungkan itu adalah Bifidobacterium yang nyata-nyata dapat membunuh bakteri merugikan termasuk jenis enterobacter yang hidup di usus,¨ ungkap Prof Betty, kepada kompas.com di kawasan Kuningan Jakarta, Kamis (28/2).

Prof Betty menjelaskan, ASI merupakan makanan terbaik bagi anak di bawah usia satu tahun, dan bila bayi sudah perrnah mendapatkannya, kemungkinan mereka terserang bakteri membahayakan akan sangat minim.

¨Dalam usus manusia termasuk bayi, bakteri menguntungkan jumlahnya memang harus lebih banyak dari yang merugikan. Dengan mendapat ASI ekslusif, jumlah bakteri baik tentu akan akan sangat banyak sehingga mampu memperkuat kekebalan. jika yang terjadi sebaliknya, maka kemungkinan bayi terserang penyakit akan semakin terbuka,¨ ungkapnya

Menanggapi infeksi bakteri enterobacter terhadap bayi, Prof Betty mengatakan kasusnya di Indonesia sebenarnya memang masih sangat jarang. ¨Kalaupun bayi terinfeksi, biasanya pada bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau pada mereka yang mengalami gizi buruk,¨terangnya

Wednesday, November 2, 2011

Apa Isi Air Minum Anda?

KOMPAS.com - Idealnya, air yang kita minum haruslah jernih, tak berasa, tak berbau, serta mengandung mineral. Air yang layak konsumsi juga harus bebas dari zat-zat berbahaya, seperti logam berat, nitrat, bakteri, atau agen virus penyebab infeksi.

Air yang berasal dari perut bumi pada umumnya layak untuk dipakai. Namun naiknya permukaan air laut serta polusi menyebabkan air tanah pun tak lagi masuk dalam kategori layak konsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan air, kini air yang kita konsumsi sehari-hari dibuat dari air sungai atau danau yang diolah sedemikian rupa sehingga bebas dari bahan berbahaya sebelum akhirnya dialirkan ke rumah penduduk.

Menurut badan kesehatan dunia (WHO), ada beberapa jenis polutan yang mungkin terbawa dalam air, yakni:

- Mikroorganiseme, seperti bakteri, parasit, dan virus. Kebanyakan bakteri dan parasit bisa mati oleh klorin yang terdapat dalam proses pengolahan air bersih. Sayangnya virus lebih kebal dan sulit disingkirkan.

- Mineral racun, seperti alumunium, arsenik, asbestos, florine, nitrat, atau merkuri, bisa terdapat dalam air ledeng. Biasanya jumlahnya relatif kecil, meski begitu polusi yang berasal dari industri dan pertambangan bisa membuat jumlah mineral racun ini meningkat.

- Senyawa organik, seperti sisa-sisa hewan, pestisida, minyak, cat, atau bahan pewarna.

- Bahan radioaktif, seperti uranium atau gas radiokatif dalam jumlah kecil sangat mungkin ditemukan dalam air bersih.

- Sisa-sisa bahan kimia yang dipakai untuk mengolah air sungai menjadi air bersih.

- Kontaminasi mikroba yang berasal dari pipa distribusi air dan tanpa sengaja terbawa air.

Air yang terkontaminasi bahan-bahan berbahaya bisa menjadi media penularan penyakit, seperti kolera, tifus, atau hepatitis A. Oleh sebab itu pastikan air yang dikonsumsi bersih dan sudah dimasak hingga matang.

sumber : kompas

Asal Usul Pemberantasan Malaria

KOTA Jakarta lama (Batavia, 1619-1942-red) adalah lahan subur penyakit malaria. Puluhan ribu orang Eropa tewas di Batavia yang dijuluki sebagai Graaf der Hollander (kuburan orang Belanda-red). Belakangan, baru diketahui, malaria adalah penyebab kematian yang sedemikian dahsyat di Batavia.

Pada tahun 1880 praktisi medis Prancis bernama Charles-Louis Alphonse Laveran (1845-1922) menemukan bahwa Malaria disebabkan oleh Protozoa (organisme bersel tunggal). Untuk penemuan tersebut, Laveran diganjar Hadiah Nobel di bidang medis tahun 1907.

Dalam perkembangan, tahun 1898, Sir Ronald Ross (1857-1932) menemukan siklus hidup parasit Malaria berkembang di dalam nyamuk dan tubuh manusia yang terinfeksi. Atas temuan tersebut, Ross mendapat Hadiah Nobel bidang medis tahun 1902.

Upaya penanganan Malaria pasca Perang Dunia II hingga dekade 1970-an dilakukan dengan menggunakan pestisida DDT. Langkah tersebut berhasil memberantas wabah Malaria di beberapa bagian dunia. Sebagai catatan, pada tahun 1960-an, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan seri perangko Dunia Bersatu Memberantas Malaria bergambar nyamuk Malaria.

Namun akhirnya, larangan penggunaan DDT diterapkan. Kini jumlah nyamuk pembawa Malaria tetap berkembang di beberapa bagian dunia. Sejumlah daerah di Republik Indonesia diketahui merupakan daerah endemik Malaria.

( Iwan Santosa, disarikan dari The Book of Origins, karya Trevor Homer, Penguin Books, London, 2007 dan pelbagai sumber)

Thursday, September 16, 2010

Kecoa Mampu Melawan Bakteri Super

KOMPAS.com - Bila biasanya kecoa dianggap hewan yang menjijikan karena identik dengan tempat-tempat kotor dan tidak higienis, kini Anda perlu bersyukur pada hewan yang menggelikan ini. Karena menurut penelitian terbaru kecoa dapat memerangi bakteri super seperti MRSA dan bakteri Escherichia coli (E.coli).

Berdasarkan penelitian Simon Lee dari Universitas Nortingham, Inggris, kecoa dan belalang mengandung molekul antibiotik yang kuat di otak mereka yang dapat digunakan untuk mengembangkan pengobatan baru melawan Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus(MRSA) dan E. Coli.

Di banyak negara MRSA (bakteri yang kebal terhadap obat antibiotik) telah menjadi masalah. MRSA menyebabkan 50 persen dari semua infeksi yang didapat dari rumah sakit di Amerika Serikat. Di sejumlah negara Eropa, rata-rata 20.000 orang meninggal dunia tiap tahunnya dan sekitar 10 persen di antaranya dari MRSA.

Dalam penelitian mengenai kecoa dan belalang, para ilmuwan telah mengidentifikasi hingga sembilan molekul yang berbeda dan berpotensi menjadi racun terhadap bakteri-bakteri super tersebut. Para peneliti juga berharap akan membuka jalan bagi pengobatan baru untuk berbagai obat yang kebal terhadap infeksi bakteri.

Berdasarkan penlitian, jaringan otak dan sistem syaraf serangga bisa membunuh lebih dari 90% dari MRSA dan bakteri E.coli, tanpa merugikan sel-sel manusia. Simon Lee, yang akan menyajikan karyanya pada pertemuan Asosiasi Lembaga Masyarakat Untuk Mikrobiologi di Nottingham, mengatakan, "Kami berharap bahwa molekul-molekul ini akhirnya dapat dikembangkan menjadi pengobatan untuk E. coli dan infeksi MRSA yang semakin resisten terhadap obat-obatan saat ini."

"Hasil penelitian ini juga berpotensi sebagai antibiotik baru dapat memberikan alternatif untuk obat yang saat ini sudah tersedia dan cukup efektif tetapi memiliki efek samping yang serius dan tidak diinginkan," kata Lee.

Meningkatnya resistensi terhadap antibiotik disebabkan penggunaan yang tidak sesuai dan pengobatan sendiri, ketidakpatuhan pasien seperti penghentian pengobatan, manajemen higienitas yang tidak cukup, dan tidak mengikuti praktik yang telah terbukti.

Penulis: M01-10

Hati-hati, Bakteri Super Mengancam Dunia

LONDON, KOMPAS.com — Hati-hati. Para ahli medis di Inggris mengingatkan, ada bakteri baru yang mengancam hidup manusia. Bakteri ini tergolong super karena tahan terhadap antibiotik paling ampuh sekalipun. Belakangan, bakteri ini sudah ditemukan di sejumlah rumah sakit di Inggris.

Seperti dilansir dari BBC, para ahli medis juga menjelaskan, bakteri yang dapat membuat enzim yang dinamakan NDM-1 itu dibawa oleh pasien NHS yang sebelumnya terbang ke luar negeri seperti India dan Pakistan untuk melakukan operasi kecantikan.

Meskipun saat ini baru ditemukan sekitar 50 kasus di Inggris, para ahli khawatir bakteri ini akan menyebar secara global. Untuk penanganannya, dibutuhkan pengawasan yang ketat serta obat-obatan baru.

Infeksi serupa juga sudah ditemukan di AS, Kanada, Australia, dan Belanda. Tak heran jika kemudian peneliti internasional mengatakan bahwa NDM-1 bisa menjadi ancaman utama kesehatan global. Saat ini, infeksi bakteri sudah menyebar dari satu pasien ke pasien lainnya di rumah sakit di Inggris. (KONTAN/Barratut Taqiyyah)

Cepat atau Lambat, Bakteri Makin Kebal

JAKARTA, KOMPAS.com - Munculnya bakteri super yang resisten terhadap berbagai antibioitik paling ampuh sekalipun bukanlah hal baru dalam dunia kedokteran. Cepat atau lambat, bakteri memang akan menjadi resisten terhadap antibiotik (multiresisten) yang ada saat ini.

"Tidak ada antibiotik yang sensitif (mampu bertahan lama) dalam membunuh bakteri. Para ahli mikrobiologi menganggap, antibiotik bukan merupakan cara tepat untuk menangani penyakit. Karena apabila peneliti menemukkan antibiotik untuk membunuh bakteri, tahun-tahun berikutnya bakteri akan menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada," kata Prof. Sam Soemarto dari PAMKI (Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia), Kamis (12/08/10).

Menurut Prof. Sam, pada dasarnya bakteri menjadi resisten karena banyak cara. "Pertama, memisahkan dirinya secara genetik. Kemudian dia bisa tumbuh menjadi bakteri baru yang kebal karena adanya proses mutasi dan transfer gen antibiotik ke bakteri lain," jelas Prof. Sam.

Mutasi sendiri ialah terjadinya modifikasi protein, yaitu penurunan afinitas ikatan protein bakteri dengan antibiotik. Protein akan tahan terhadap kehilangan efisiensi karena mutasi tersebut. Nantinya, mutasi genetis yang berbeda akan menghasilkan tipe resistensi yang berbeda juga.

"Beberapa mutasi mengakibatkan bakteri dapat menghasilkan zat kimia (enzim) yang cukup untuk menonaktifkan antibiotika. Hal yang sama terjadi pada bakteri super yang menghasilkan enzim NDM-1," kata Prof Sam.

Selain itu, menurut Prof, Sam Soemarto, resistensi juga terjadi karena bakteri mentransfer gen antibiotik ke bakteri lain. Bakteri bisa mendapatkan gen-gen resisten terhadap antibiotika dari bakteri lain dengan beberapa cara. Dengan melakukan proses perkawinan sederhana yang disebut “konjugasi,” bakteri dapat mentransfer materi genetik, termasuk kode-kode genetik yang resisten terhadap antibiotika (ditemukan dalam plasmids and transposons) dari satu bakteri ke bakteri yang lainnya.

Bakteri yang mendapatkan gen-gen resisten, baik melalui mutasi spontan atau melalui pertukaran genetis dengan bakteri lainnya, memiliki kemampuan untuk melawan satu atau lebih jenis antibiotika. Karena bakteri dapat mengumpulkan beberapa sifat resistensi seiring dengan berjalannya waktu, mereka dapat menjadi resisten terhadap beberapa jenis antibiotika yang berbeda.

Penggunaan tidak tepat
"Resisten dari bakteri itu sendiri bisa dipercepat oleh pola pemakaian antibiotik(resep) yang dipakai dakter tidak tepat," kata Prof Sam.

Menurut Prof. Sam, kebanyakan resep untuk penyakit tertentu seharusnya tidak perlu menggunakan antibiotik. Misalkan resep untuk flu, yang diketahui jelas bahawa penyakit flu berasal dari virus, sehingga tidak terpengaruh oleh pemberian antibiotik.

Selain itu Prof. Sam menjelaskan bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika juga disebabkan karena adanya penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang dapat dibeli tanpa resep dokter. "Pasien suka minum antibiotik tertentu padahal belum tentu obat itu mengobati penyakitnya, " kata Prof. Sam.

Padahal, penggunaan antibiotik yang sembarangan dapat menghasilkan jenis bakteri baru yang dapat bertahan terhadap pengobatan yang diberikan atau yang disebut dengan resistensi bakteri. Jenis bakteri baru ini memerlukan dosis yang lebih tinggi atau antibiotika yang lebih kuat untuk dapat dimusnahkan.

Di sisi lain, lanjut Prof. Sam, kebiasaan pasien tidak menghabiskan antibiotik yang diberikan dokter juga berpengaruh untuk meningkatkan resistensi dari bakteri tersebut.

Penulis: M01-10

Antibiotik Kacaukan Perut Anda

WASHINGTON, KOMPAS,com — Peran antibiotik yang ampuh membunuh kuman tak selalu bermanfaat bagi manusia. Karena nyatanya, mengonsumsi antibiotik juga dapat mengganggu keseimbangan mikroba baik yang hidup di dalam usus sehingga menyebabkan kondisi kesehatan menjadi tak terduga.

Berdasarkan penelitian Les Dethlefsen dan David Relman dari Universitas Stanford California, AS, terhadap pasien yang diberi ciprofloxacin terungkap bahwa antibiotik yang dikonsumsi menekan semua populasi bakteri menguntungkan. Setidaknya setiap pasien memerlukan waktu berbulan-bulan untuk pulih.

Penelitian yang diterbitkan jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini mendukung kebijaksanaan yang mengatakan bahwa antibiotik dapat merusak bakteri baik yang hidup di tubuh. Penelitian ini juga mendukung pentingnya pengembangan produk probiotik, termasuk yoghurt yang mengandung bakteri hidup.

Dalam riset selama sekitar 10 bulan, para ahli melibatkan tiga perempuan relawan dengan memberikan tablet antibiotik. Pemberian obat dilakukan dalam dua fase dengan setiap fase berlangsung selama lima hari. Kemudian, para peneliti melakukan tes DNA pada sampel tinja dari para relawan untuk menentukan jenis mikroba yang hidup dalam usus.

"Hasilnya, efek ciprofloxacin pada mikrobiota usus sungguh pesat. Selama sepekan setelah pemberian antibiotik, mereka kembali pada kondisi awal, tapi tidak sepenuhnya lengkap," kata Dethlefsen.

Hasil studi lain juga mendukung gagasan bahwa manusia dan hewan memiliki hubungan simbiosis dengan kuman. Mikroba dalam usus membantu mencerna makanan dan kuman baik dapat membuat jarak sehingga kuman buruk menjauh. "Distal usus manusia adalah salah satu ekosistem paling kompleks di planet ini," ungkap Dethlefsen.

Mematikan mikroba dapat memicu obesitas dan kemungkinan alergi. Riset lain juga menemukan bahwa Lactobacillus reuteri yang ditemukan dalam ASI dapat melindungi tubuh dari infeksi rotavirus.

Beberapa studi terbaru juga menemukan bakteri tertentu menyebabkan radang yang dapat memengaruhi nafsu makan serta kondisi peradangan usus, seperti penyakit Crohn dan kolitis.

Menurut Dethlefsen, membunuh populasi bakteri dalam tubuh secara teratur dapat membantu mendorong penyebaran bakteri super yang resisten terhadap obat-obatan.

"Salah satu potensi percabangan yang dapat mengubah manusia adalah menambah gen yang kebal terhadap antibiotik. Setiap penggunaan antibiotik sama halnya seperti melempar dadu karena berpotensi memunculkan strain jahat yang mengganti bakteri baik," tandasnya.

Penulis: M01-10

Bakteri Saling Mengorbankan Diri Hadapi Gempuran Obat

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Boston, Terbentuknya koloni bakteri super bisa digambarkan dengan semboyan gugur satu tumbuh seribu. Dalam proses itu, bakteri yang sudah lebih dulu kebal akan akan mati-matian menghadapi antibiotik dan memberi kesempatan bakteri lain membentuk kekebalan sendiri.

Sebelum terbentuk sebuah koloni bakteri super, awalnya hanya ada beberapa bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Bakteri kebal yang jumlahnya tidak banyak inilah yang akan pasang badan ketika menghadapi gempuran obat.

Bakteri-bakteri kebal tersebut akan melepas senyawa indol, yakni senyawa organik yang berperan dalam kekebalan sel. Senyawa ini memberi kemampuan bagi bakteri untuk bertahan hidup di lingkungan yang kejam akibat adanya tekanan dari antibiotik.

Bagi banyak bakteri lain di dalam koloni tersebut, lepasnya senyawa ini merupakan sinyal untuk membentuk pertahanan sendiri terhadap antibiotik. Namun bagi si bakteri super sendiri, terlepasnya indol akan melemahkan kekebalan dan tak jarang membuatnya mati saat menghadapi serangan antibiotik.

Ketika bakteri super melemah atau mati, sebagian bakteri lain sudah mempunyai kekebalan sendiri sehingga bisa menghadapi antibiotik. Sebagian lainnya memang mati, namun yang bertahan akan berkembangbiak dan menghasilkan koloni bakteri super yang sudah tidak mempan lagi terhadap antibiotik yang sama.

Dikutip dari Dailymail, Senin (6/9/2010), mekanisme ini terungkap secara tidak sengaja oleh tim ahli dari Boston University. Sebenarnya peneliti hanya ingin mengamati bagaimana bakteri super dapat bertahan dan kemudian berkembang biak membentuk koloni baru setelah yang lainnya mati.

"Ternyata beberapa di antara bakteri super itu mati, namun sejumlah bakteri super lainnya terbentuk setelah bakteri super yang pertama mengorbankan diri," ungkap Prof James Collins, pakar mokrobiologi yang memimpin penelitian tersebut.

Secara alami bakteri memang melepas senyawa indol dalam kadar tertentu sebagai bentuk pertahanan diri saat menghadapi ancaman. Pemberian antibiotik akan menghentikan pelepasan tersebut, dan membuat bakteri melemah kemudian mati.

Menurut Prof James, temuan ini membuktikan bahwa bakteri hidup sebagai komunitas dan tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri. Dengan pemahaman ini maka pengembangan antibiotik perlu dilakukan melalui studi di tingkat populasi, bukan hanya di tingkat organisme.