Showing posts with label asmaul husna. Show all posts
Showing posts with label asmaul husna. Show all posts
Thursday, December 8, 2011
Al-Mutakabbir: Yang Pantas Menyombongkan Diri
Bumi, matahari, bulan, bintang, langit, dan seluruh alam adalah ciptaan-Nya, milik-Nya, dan berada dalam kendali-Nya. Tidak ada daun kering yang jatuh dari tangkainya, kecuali atas ijin-Nya. Tiada semut hitam yang merayap di atas batu hitam, pada malam yang gelap gulita, kecuali atas pantauan dan penglihatan-Nya.
Dia-lah yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengendalikan. Dia-lah Yang Maha Besar, di tangan-Nyalah segala urusan.
Dengan kekuasaan yang sangat besar dan tak terbatas itu, adalah pantas bagi-Nya untuk menyombongkan diri. Sikpa sombong itu terutama ditujukan oleh-Nya kepada mereka yang angkuh, yang berjalan di muka bumi-Nya dengan membusungkan dada. Kepada mereka yang angkuh itu, Allah seolah menyapa: di bumi mana engkau sekarang menginjakkan kaki? Udaranya siapa yang anda hirup? Kepada makhluqnya siapa anda menyombongkan diri?
"Kebesaran (kesombongan atau kecongkakan) adalah pakaian-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang merampas salah satu (dari keduanya), Aku lemparkan ia ke neraka Jahannam." (Hadits Qudsi Riwayat Abu Dawud)
Allah adalah Al-Mutakabbir, hanya Dia yang pantas menyandang gelar ini. Seorang raja yang paling berkuasa sekalipun tak pantas menyandang kesombongan, sebab mereka lahir ke muka bumi tidak membawa apapun. Bahkan dirinya sendiri tak pernah meminta dilahirkan sebelumnya. Tidak ada manusia yang bisa memilih dikandung dalam rahim siapa, dan akan beribu bapak dengan siapa. Dalam penciptaan manusia, tidak ada intervensi, tidak juga interupsi. Penciptaan itu benar-benar murni kehendak Allah.
"Dia-lah Allah yang menciptakan kalian semua di dalam rahim-rahim ibu kalian, sesuai dengan yang diinginkan-Nya." (QS. )
Bagaimana mungkin manusia berbuat sombong, sedang mereka sepanjang hidupnya senantiasa membawa urine dan kotoran yang busuk baunya? Setiap hari manusia mengeluarkan bau busuk melalui pori-porinya, berupa keringat. Bau busuk itu lebih menyengat lagi ketika Buang Air Kecil, maupun Buang Air Besar. Kelak ketika mereka mati, seluruh tubuhnya membusuk. Adakah yang bisa disombongkan manusia? Wahai manusia, janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan angkuh, sebab kakimu tidak bisa menembus bumi, sedangkan ketinggianmu tidak bisa menembus langit.
Sesungguhnya orang yang sombong itu telah menggabungkan kebodohan dan kebohongan. Mereka bodoh karena tak tahu diri. Mereka berbohong karena sesungguhnya yang mereka bangga-banggakan bukan miliknya. Ia membohongi dirinya sendiri sebelum berbohong kepada orang lain.
Iblis dikutuk dan dilaknat sepanjang hidupnya bukan karena tidak mengakui eksistensi Allah, bahkan ia sangat mengenal-Nya. Ia juga mengakui keberadaan-Nya. Iblis dikutuk, karena ia menyombongkan diri, ketika menolak diperintah sujud kepada Adam. Iblis memandang dirinya lebih mulia dan lebih utama dari pada dirinya. Ia memandang Adam lebih hina dan pantas dihinakan.
"Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan kafir." (QS. Al-Baqarah: 34)
Allah tidak memberi toleransi sedikitpun kepada orang yang menyombongkan diri. Bagi Allah, tempat yang layak bagi mereka adalah neraka, sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidak akan masuk surga seseorang yang terdapat di dalam hatinya sebesar atom bibit keangkuhan.”
Bersikap sombong hanya boleh dilakukan oleh manusia, jika ia sedang menghadapi orang-orang yang menyombongkan diri. Sikap seperti itu, bahkan merupakan sedekah. Rasulullah saw juga bersabda: “Menyombongi orang yang angkuh adalah sedekah”.
Jika kita ingin meneladani sikap Al-Mutakabbir-Nya Allah, maka yang boleh kita tiru adalah bersikap sombong kepada orang-orang yang menyombongkan dirinya agar mereka segera sadar dan tidak berlarut-larut dalam keangkuhannya. Itulah sebabnya, berjalan dengan angkuh pada saat perang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, agar musuh-musuh Islam merasa gentar dan berniat mengurungkan peperangan. Ketika Rasulullah menyaksikan para sahabat berjalan dengan angkuh pada saat perang, beliau berkomentar: “Sesungguhnya ini adalah cara jalan yang dibenci Allah, kecuali dalam situasi seperti ini”.
Ya Mutakabbir, hilangkan sifat sombong di hati kami dan gantikan dengan sifat tawadhu, merendah diri. Bukalah dada kami untuk menerima kebenaran, dari siapapun datangnya. Jauhkan kami dari sikap diskriminatif dan memandang rendah oorang lain. Ya Mutakabbir, hanya Engkau yang pantas menyandang gelar ini.
(Tulisan ini dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 09/Tahun I/2005)
Oleh: Hamim Thohari
Al-Khaaliq, Indahnya Kreativitas Allah
Di puncak pencariannya, Muhammad saw menerima wahyu pertama di Gua Hira. Melalui lima ayat yang diturunkan pertama kali itu, Allah hendak memuaskan dahaga para pencari kebenaran, termasuk Muhammad tentang penciptaan alam semesta dan segala isinya. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Sungguh indah, ketika memperkenalkan sifat dan nama-Nya, Allah tidak serta merta mengklaim diri-Nya sebagai pencipta melainkan terlebih dahulu memerintah manusia untuk membaca. Jika manusia telah bersungguh-sungguh membaca alam ciptaan-Nya, mereka akan segera menemukan bahwa alam yang luasnya tak terhingga itu pasti ada yang menciptakan. Dia pasti Dzat yang absolut, distink, dan unique. Jika luasan jagat raya tidak bisa diukur dengan alat ukur dan alat hitung apapun, maka yang menciptakan pastilah Maha tak terhingga (absolute). Dzat yang absolute itu pastilah satu, tiada dua-Nya (distink), dan tiada satupun yang menyamai-Nya (unique). Akal sehat dan ilmu manusia dapat menjangkau sampai batas ini, tidak bisa lebih dari itu. Maka hidayah Allah-lah yang kemudian dapat mengantarkan manusia untuk mengenali Sang Pencipta.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya) berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imraan: 191)
Al-Qur’an menyebut kata Al-Khaliq sebanyak delapan kali, dan lebih dari 150 menyebut kata ‘khalaqa’ dan segala variannya. Rahasia di balik pengulangan sebanyak itu adalah untuk memberi aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya.
Dalam banyak ayat, Allah menantang manusia untuk mencari cela di balik ciptaan-Nya. Al-Qur’an menyebut:
“Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu dapati sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk: 3-4)
Memperhatikan seluruh ciptaan-Nya, akal sehat kita segera menyadari bahwa pastilah sang kreator itu adalah dzat yang memiliki keluasan ilmu yang menyangkut bahan baku, kadar dan ukurannya, cara, serta waktu dan tempat yang sesuai agar ciptaan-Nya dapat berperan sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya. Allah tidak pernah gagal dalam penciptaan segala sesuatu, bahkan Dia menyebut dirinya sebagai “Ahsanul Khaaliqiin”, The best and the beautiful creator.
Meskipun Allah menyebut diri-Nya sebagai ahsanul khaaliqin, Dia tetap “tawadhu” dengan mengakui keterlibatan pihak lain dalam terwujudnya sebuah karya cipta. Ketika menguraikan penciptaan manusia, Allah menggunakan kata “khalaqna al-Insaana”, Kami ciptakan manusia. Kata “na” atau “Kami” menunjukkan keterlibatan pihak lain, dalam hal ini adalah bapak ibu sang jabang bayi. Lain halnya ketika menyebut penciptaan Adam, Al-Qur’an hanya menyebutnya dengan kata “khalaqtu”, Aku ciptakan. Demikian halnya dengan penciptaan langit dan bumi. Lagi-lagi, kita diajak untuk mengenali Akhlaq Ilahi yang luar biasa.
Ajakan Allah kepada manusia untuk membaca tanda-tanda kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya bukan semata untuk menjadikan kita berdecak kagum sambil menggelengkan kepada dan mengucap “subhanallah”. Kagum itu boleh, bahkan harus, tapi lebih penting dari itu adalah meniru atau meneladani. Jadilah orang yang kreatif.
Ketika kita menjadi kreatif, jadilah kreator besar. Jangan tanggung-tanggung. Klaim Allah sebagai ahsanul-khaaliqiin mengarahkan kita untuk memiliki motivasi untuk menjadi the best. Kita memang tidak bisa menjadi ahsanul-khaaliqiin, tapi semangat ahsanul khaaliqiin haruslah lekat dan menjadi motivasi saat kita berkreasi.
Kedua, jadilah kreator yang jujur. Usahakan setiap kreatifitas itu original. Jangan sekali-kali menjiplak, sebab penjiplakan itu menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu kebohongan dan kebodohan. Karya jiplakan merupakan penggabungan keduanya.
Masih berkait dengan kejujuran, jika ada keterlibatan pihak lain sebesar apapun, akuilah eksistensinya. Jangan mengklaim sendiri. Allah saja masih menggunakan kata “Kami” bukan “Aku” ketika menjelaskan tentang penciptaan manusia, karena di sana ada keterlibatan ibu dan bapak dalam proses penciptaan embrional ini.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya cipta.
(Tulisan ini dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 10/Tahun I/2005)
Oleh: Hamim Thohari
Keagungan Al-Jabbar
Wahai Jabbar! Aku heran melihat yang mengenal-Mu, bagaimana dia memohon kepada selain-Mu…
Aku tak habis pikir kepada yang mengetahui sifat-Mu ini, bagaimana dia berpaling dari-Mu…..
Bukankah Engkau yang menutupi segala kekurangan, memperbaiki segala kerusakan,
dan mengembalikan keadaan sebaik mungkin.
Al-Jabbar, walau hanya disebut sekali dalam al-Qur’an, yakni pada surat Al-Hashr (59): 23 tapi hampir seluruh (jumhur) Ulama memasukkannya dalam 99 Asma Allah yang mulia (Asma’ul Husna). Allah memang pantas menyandang nama tersebut, sebab hanya Dia yang memiliki segala unsur yang terkandung dalam makna Jabbar tersebut.
Al-Jabbar memiliki makna ketinggian yang tak terjangkau. Ketika makna itu disandangkan kepada Allah, maka hal itu berarti bahwa Allah memiliki sifat agung yang menjadikan siapapun tak mampu menjangkau-Nya. Jabbar juga berarti Yang Mahatinggi sehingga memaksa yang rendah tunduk kepada yang dikehandaki-Nya. Semua yang terjadi di muka bumi, juga di langit adalah kehendak-Nya. Tak seorangpun yang mampu menghalangi kehendak-Nya.
Dalam al-Qur’an Allah menunjukkan keperkasaan-Nya:
"Kemudian Dia (Allah) menuju ke langit (yang ketika itu) berupa asap lalu berfirman kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kalian berdua dengan patuh atau terpaksa!”. Keduanya berkata, “Kami datang dengan sukacita”." (QS. Fushshilat: 11)
Tidak hanya dalam bentuk firman, Allah juga sering menunjukkan keperkasaan-Nya melalui berbagai kejadian alam. Contoh yang paling mutakhir adalah gempa alam dan gelombang Tsunami yang menghancurkan bumi Aceh dan kepulauan Nias. Tak satu kekuatanpun yang mampu mencegahnya. Hanya yang dikehendaki-Nya saja yang selamat dari mushibah tersebut. Melalui kejadian itu seolah Allah berpesan kepada manusia, “Lalu siapa lagi yang mau menyaingi dan menandingi keperkasaan-Ku?”
Dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim, Allah berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-Ku, keangkuhan adalah selendang-Ku, siapa yang mencoba merebutnya dari-Ku, akan Aku beri siksaan”.
Ketika penghuni bumi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kecongkakannya, mulai menyombongkan diri dan lupa kepada penciptanya, maka Allah memberikan pelajaran melalui berbagai peristiwa yang tak bisa diatasi oleh manusia. Peristiwa itu bisa berupa gejolak sosial, bisa juga berupa bencana alam. Meskipun demikian, ternyata banyak di antara manusia yang belum menyadari keperkasaan-Nya. Untuk itu, sekali lagi, dan ini yang untuk terakhir kalinya, Allah akan menujukkan keperkasaan-Nya melalui siksa neraka. “Semua muka tunduk kepada Yang Mahahidup lagi Mahapengatur dan sungguh celakalah orang-orang yang berbuat dzalim.” (QS. Thaha: 11)
Atas dasar itulah, jumhur Ulama berpendapat bahwa sifat ini tak layak disandang oleh manusia. Sebab dalam kenyataannya tak seorangpun yang mampu memaksa yang lebih rendah untuk tunduk kepada yang dikehendakinya. Manusia tak saja mampu menciptakan lalat, bahkan merekapun tak sanggup memaksakan kehendaknya pada lalat. Manusia tak pernah mampu memerintah lalat, bahkan merebut kembali apa yang telah dirampas oleh lalatpun, mereka tak sanggup melakukannya.
Meskipun demikian, Al-Ghazali masih memberi sedikit ruang kepada manusia yang terpuji akhlaqnya menyandang sifat Jabbar. Menurut Imam besar ini, bila sifat ini diteladani oleh manusia akan menjadikannya menduduki posisi yang lebih tinggi dari pengikutnya sehingga memaksa (secara otomatis) pengikutnya untuk meneladani dan mengikuti sikap, perilaku, dan pola hidupnya. Dengan demikian, ia memberi manfaat, bukan menarik manfaat. Dia mempengaruhi, bukan dipengaruhi. Dia diikuti, tidak mengikuti. Tak seorangpun yang memandangnya kecuali rindu kepadanya, bahkan si pemandang itu lupa menoleh pada dirinya sendiri. Sosok manusia yang paling pantas menyandang sifat ini adalah Muhammad saw. Beliau bersabda: “Sekiranya Musa hidup, ia tidak dapat kecuali mengikutiku”. (HR. Ahmad)
Ya Allah, Yang Maha pedih pembalasan-Nya, Yang Maha pemaksa penentang-Nya. Wahai Yang Maha Bijaksana, kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya nafsu kami menyangkut apa yang Engkau tetapkan dan kehendaki. Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka yang iri terhadap anugerah nikmat-Mu. Ya Allah, wahai yang menyempurnakan segala yang kurang, Yang memperkaya segala yang miskin, Yang memberi rasa aman segala yang takut, Yang mempermudah segala yang sulit, Ya Allah, Tuhan kami, permudahlah untuk kami segala yang sulit, karena bagi-Mu mempermudah yang sulit itu amat mudah. Amin.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 08/Tahun I/2005)
Oleh: Hamim Thohari
Sucinya Al-Quddus
Ibnu Abbas menceritakan, bahwa ia pernah menghabiskan waktu malamnya bersama Rasulullah saw. Ia melihat ketika Rasulullah bangun dan berdiri di atas kasurnya, beliau menengadahkan kepalanya seraya membaca tasbih, Subhanal malik al-Quddus, sebanyak tiga kali, kemudian beliau membaca ayat 190 dan 191 surat Ali Imran, yang butiran hikmahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Subhanallah, Rasulullah telah memberikan teladan kepada umatnya agar memperbanyak tasbih seraya menyucikan Asma Allah. Betapa seringnya imajinasi ‘nakal’ kita mengandai-andaikan Allah dengan segala keterbatasan akal pikiran, padahal keberadaan-Nya tidak bisa ditangkap oleh indera, pun tak mampu teraih oleh imajinasi, tidak pula bagi akal, pikiran, bahkan perasaan manusia untuk menjangkaunya. Dia tiada jua mampu dihukumi oleh nalar dan intelektual manapun.
Dialah Allah, yang memperkenalkan diri-Nya sebagai Maha Raja Yang Qudus, sebagaimana firman-Nya:
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Maha Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Jumu’ah: 1)
Al-Quddus secara literal berasal dari kata Quds, yang harfiahnya adalah kebersihan atau kesucian. Ketika Tuhan mengabarkan rencana penciptaan manusia dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi, para malaikat menyampaikan pendapat mereka seraya berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” (QS. Al-Baqarah: 30)
Pekerjaan utama malaikat adalah memuji dan menyucikan Allah. Itulah ihwal mengapa sang pemimpin dari seluruh malaikat disebut sebagai ruh al-Quds. Alasan lain, Malaikat Jibril yang juga bertugas sebagai pembawa wahyu Illahi kepada Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukan kealpaan dalam tugasnya. Suatu keniscayaan apabila satu kalimat, kata, atau sebuah huruf telah luput dari pengucapan dan penyampaian wahyu Allah olehnya. Semua yang disampaikan kepada Muhammad persis sama dan orisinal.
Al-Bait al-Muqaddas artinya adalah rumah yang disucikan atau rumah yang penghuninya membersihkan dan mensucikan dari segala kotoran dan dosa-dosa. Nama itulah yang disandang masjid ketiga umat Islam, yaitu masjid al-Quds di Jerusalem, Palestina. Sedang masjid pertama dan kedua adalah masjidil haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah. Al-Quds juga dipakai untuk menamai surga, karena di dalam surga tidak didapati (bersih dari) penderitaan-penderitaan sebagaimana di dunia.
Ketika al-Quddus disandangkan sebagai nama Allah, maka Dia berarti Zat yang terbebas dari segala bentuk kebutuhan. Dia tidak butuh pujian, bahkan sembahan. Jika Dia memerintahkan manusia menyembah-Nya, sesungguhnya sembahan (ibadah) itu manfaatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Kebesaran dan kekuasaan Allah tidak berkurang sekalipun seluruh manusia menentang-Nya. Sebaliknya, kebesaran dan kekuasaan-Nya tidak sedikitpun bertambah, sekalipun seluruh manusia tunduk dan sujud kepada-Nya.
Sebagai hamba Al-Quddus, selayaknya kita menyucikan hati dan pikiran kita dari segala prasangka buruk kepada Allah, juga kepada sesama manusia. Hati harus senantiasa kita bersihkan agar sinarnya memancar, memenuhi ruang dan waktu. Pikiran kita harus senantiasa dalam nuansa kesucian, agar energi kreatifnya keluar untuk menjawab segala problem dan permasalahan.
Sucikanlah Tuhanmu.
Sucikan hatimu.
Sucikan badanmu.
Bersihkan pakaianmu.
Bersihkan lingkunganmu.
Agar engkau bisa bertemu dengan Yang Maha Suci (Al-Quddus), di tempat yang bersih (surga Al-Quds), bersama para malaikat yang dikepalai ruh al-Quds.
* Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) edisi cetak No. 03/Tahun I/2005
Oleh: Hamim Thohari
Al Mukmin, Yang Memberi Rasa Aman
Ketika manusia baru lahir, ia adalah makhluk yang lemah. Ia sangat membutuhkan rasa aman dari orang-orang di sekitarnya, terutama ibunya. Ia membutuhkan jaminan pasokan makanan karena ia tidak bisa mencari makanan sendiri, bahkan untuk memasukkan makanan ke mulutnya ia memerlukan bantuan orang lain. Si bayi membutuhkan perlindungan dari udara dingin, dari ancaman nyamuk, bahkan dari kotorannya sendiri. Gelapnya malam sering membuatnya merinding ketakutan.
"Dialah Allah, tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan." (QS. Al-Hasyr: 23)
Ketika manusia beranjak dewasa, saat fisiknya sudah kuat, bukan berarti mereka sudah bebas dari rasa takut. Bencana alam berupa kiriman air bah, badai laut, tsunami, angin puyuh, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, langit yang bergemuruh dengan suara petir yang sambar menyambar, menjadi ancaman yang sangat mengerikan. Siapa yang tidak takut menghadapinya?
Belum lagi perang yang bisa pecah sewaktu-waktu, baik yang bersifat lokal hingga transnasional dan global. Rakyat Irak tak mengira jika akhirnya negaranya hancur lebur dengan korban ratusan ribu jiwa akibat invasi tentara Amerika. Menakutkan! Sungguh mencekam! Belum lagi perang saudara yang sering kali lebih sadis dan kejam.
Berbagai usaha dilakukan manusia untuk mengurangi rasa takut. Mereka bercocok tanam agar mendapatkan jumlah makanan yang memadai. Mereka juga berdagang dan menjalankan berbagai usaha bisnis. Sebagian lagi membangun rumah sakit untuk memberikan pengobatan kepada masyarakat yang sakit.Ada yang membangun bendungan untuk mencegah datangnya banjir. Sebagian lagi membangun kastil dan benteng untuk meghindari serangan musuh yang bisa datang sewaktu-waktu. Yang merasa lemah meminta perlindungan kepada yang lebih kuat. Yang terakhir ini berlaku perorangan maupun Negara.
Apakah dengan berbagai usaha di atas lantas manusia merasa aman? Belum. Masih banyak lagi ancaman dan bahaya yang tak terhingga jumlahnya. Tempat tidur yang paling nyaman sekalipun mengandung bahaya yang tidak kalah mengerikan. Bayangkan, justru di tempat yang empuk itu sebagian besar manusia menemukan ajalnya. Lalu di mana manusia mendapatkan keamanan? Kepada siapa mereka bisa mendapatkan rasa aman?
Kalaulah ada bumi lain selain buminya Allah, kalaulah ada tempat berpijak lain selain bumi yang kita pijak sekarang, bolehlah manusia lari ke sana. Akan tetapi tidak ada tempat berpijak lain selain buminya Allah. Bahkan kita sendiri adalah milik Allah. Kita berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Lalu bagaimana?
Yang bisa memberi keamanan dan rasa aman hanyalah Allah. Kita tidak bisa lari dari-Nya, sebab kemana saja kita hadapkan wajah kita, di situ akan bertemu Allah. Hanya Dia yang bisa memberi rasa aman, jauh lebih banyak dan lebih besar dari rasa aman yang diberikan oleh ibu kepada anak bayinya atau suami kepada istrinya.
"(Yaitu Tuhan) yang menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali, dan Yang amat kuinginkan akan mengampuniku pada hari kiamat." (QS Asy-Syu’araa: 78–82)
Dia-lah Allah, yang memiliki nama indah Al Mukmin, yang memberi keamanan dan rasa aman. Dia-lah satu-satunya yang bisa memberi keamanan sejati, lahir dan batin.
Hanya Dia, Al Mukmin yang dapat memberi rasa aman secara menyeluruh. "Yang memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut." (QS. Quraisy: 4)
Nanti, ketika manusia menghadapi siatuasi yang kacau balau saat-saat menghadapi hari perhitungan (yaum al hisab), ketika amal manusia ditimbang (mizan), saat nasib manusia ditentukan masuk surga atau neraka. Hanya Dia yang bisa memberi rasa aman. Pada saat itu hanya hamba-Nya yang mukmin saja yang akan mendapatkan rasa aman.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendiriannya, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih. Bergembiralah kamu (dengan memperoleh) surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu. Kami pelindung-pelindung pada kehidupan di dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu minta." (QS. Fushshilat: 30-31).
* Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) edisi cetak No. 05/Tahun I/2005
Oleh: Hamim Thohari
Damainya As Salaam
Dalam tradisi masyarakat ketimuran, jika seseorang bertemu atau berpapasan dengan orang lain, baik di jalan ataupun dalam suatu pertemuan, baik yang dikenal maupun yang belum dikenal, sangat dianjurkan untuk saling bertegur sapa. Meski sama-sama melakukan sebuah amaliah kebajikan, orang yang menyapa terlebih dahulu menyandang nilai kemuliaan yang lebih tinggi dari orang yang menjawab sapa.
Ucapan salam dalam tradisi spiritual, merupakan suatu jaminan kedamaian dari orang yang memberi salam kepada mereka yang ditemuinya. Ucapan assalamu’alaikum, dalam keyakinan spiritual keislaman, similar artinya dengan, “Saya jamin keselamatan dan kedamaian Anda. Saya tidak akan berbuat jahat atau berniat mencelakakan Anda.”
Ketika malaikat menyampaikan salam kepada Nabi, beliau, para Angel of God tadi pun tak lupa menebarkan salam itu kepada umatnya yang shaleh. Dialog indah itu kemudian menjadi bacaan “wajib” dalam epilog akhir ibadah shalat.
Tak hanya cukup sampai di situ, ketika hendak usai menutup ibadah shalatnya, maka sekali lagi sebuah kewajiban bagi mereka tertunaikan dengan melafazkan salam teriring tengokan ke kanan ke kiri. Maknanya, pekerjaan utama orang yang memiliki kaidah keberserahdirian adalah menyapa, menyebarkan salam, dan merealisasikan kedamaian sebagai sebuah pesan universal.
Surga sebagai salah satu tempat tujuan manusia ‘digital’ yang futuristik, disebutkan juga dalam beberapa ajaran agama samawi di dunia sebagai, “heaven” ...the perfect happiness place that gives you great pleasure..., sebagai tempat ‘keselamatan’ karena siapapun yang tinggal di dalamnya pasti selamat dari segala bentuk penderitaan, kepedihan, dan kebinasaan.
Sungguh indahnya perbuatan menyapa itu, begitu damai ucapan salam itu, sehingga tatkala para malaikat menjumpai kaum beriman yang berada dalam surga, ...where the good people are believed to go after they die... memberi penghormatan dengan melantunkan salam kemuliaan. Dan orang-orang beriman itu memasuki tempat mulia “The Heaven” dengan penuh kedamaian, buah kesabaran dari apa yang telah mereka usahakan selama hidup di dunia. Mereka dengan wajah-wajah cerah dan penuh kegembiraan memasuki bilah pintu-pintu gerbang surga. Dan makhluk-makhluk yang terbuat dari cahaya, The Angel of God itu menyapa dengan penuh ketulusan, menebarkan salam kedamaian yang universal, mempersilakan semua manusia-manusia yang telah berbuat baik di dunia itu untuk melangkah menapaki tangga-tangga surgawi yang begitu indah dan menakjubkan mata. Salam yang penuh bahagia, perwujudan pelayanan tulus yang setinggi-tingginya.
Duhai, betapa indahnya salam itu, sehingga perjumpaan Sang Pencipta dengan para abdi yang diciptakan-Nya, didahului dengan sapaan “Salaam”. Dalam kitab agama Samawi, the Bible pun disebutkan bahwa hari pertemuan antara The Creation (God) dan creationist (yang dicipta) adalah sebuah keadaan yang indah dan penuh kedamaian serta keselamatan. Begitupun halnya dengan banyak kepercayaan lainnya, bahwa hari pertemuan dengan Sang Creation itu selalu digambarkan dalam suasana kedamaian dan salaam (selamat).
As-Salaam adalah salah satu dari sekian Asma Allah yang lainnya. Sang pemilik dan penyebar kedamaian. Dia-lah yang mengajarkan manusia arti kedamaian dan keselamatan. Ia-lah jua yang mengutus manusia-manusia beriman untuk terus menerus menebarkan kedamaian di muka bumi. Dan lewat asma-Nya yang satu ini, Rasulullah saw telah menjadikan kedamaian sebagai bagian integral ajaran yang ditebarkannya, beliau bersabda: Assalaamu minal islam, menyebarkan kedamaian merupakan bagian terpenting Islam, yang juga memuat makna keselamatan.
* Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) edisi cetak No. 04/Tahun I/2005
Oleh: Hamim Thohari
Mulianya Al-Aziz
Selain Ar Rahman dan Ar Rahim, Al Aziz termasuk Asma-Nya yang paling banyak disebut dalam Al Qur’an. Pengulangan yang tidak kurang dari 99 kali ini mengisyaratkan pentingnya asma Al Aziz.
Al Aziz dalam ensiklopedi Arab berarti kukuh, kuat, dan mantap. Bisa juga berarti angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dukungan, dan semangat membangkang. Bila dikaitkan langsung dengan Allah, maka berarti Yang Maha Mengalahkan siapapun yang melawan-Nya, dan tidak terkalahkan. Kekuatan-Nya tidak bisa dibendung dan kedudukan-Nya tidak bisa diraih. Begitu tingginya sehingga tidak bisa disentuh oleh keburukan dan kehinaan, karenanya Dia-lah Yang Maha Mulia.
"Barangsiapa yang menghendaki Al-izzat (kemuliaan), maka kemuliaan seluruhnya hanya milik Allah." (QS Al-Faathir: 10)
Imam Al Ghazali memberi tiga syarat bagi penyandang sifat dan nama Al Aziz. Pertama, perannya sangat penting dan hanya sedikit yang bisa menjalankan. Kedua, keberadaannya sangat dibutuhkan. Ketiga, sulit untuk diraih atau disentuh. Tanpa terhimpunnya tiga syarat di atas, tidak wajar jika dinamai Al Aziz. Al Ghazali memberikan contoh matahari. Sekalipun dalam tata surya ia tidak ada bandingannya, manfaat dan kebutuhan terhadapnya sangat besar, namun ia belum layak disebut Al Aziz, karena siapapun tidak sulit menyaksikannya.
Al Aziz hanya pantas disandang Allah, karena hanya Dia yang bisa menghimpun tiga syarat itu sekaligus. Tak satupun yang bisa menghimpun tiga syarat di atas, tanpa kekurangan. Oleh karena itu Dia-lah Yang Maha Mulia, karena peran-Nya sangat sentral, dan hanya Dia yang bisa memegang peran itu. Segala makhluk membutuhkan-Nya dalam banyak hal, termasuk dalam hal wujud dan kesinambungan eksistensi. Di samping itu, tidak ada yang bisa meraih-Nya, sebab tidak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri. Kita bisa mengenal Allah, karena Dia memperkenalkan eksistensi-Nya.
Karena kemuliaan (Al Aziz) itu milik Allah, maka Allah-lah yang paling berhak menganugerahkan kemuliaan kepada yang dikehendaki-Nya. Kaitannya dengan hal ini, Dia telah menegaskan dalam QS Al Munaafiquun: 8 bahwa kemuliaan dianugerahkan kepada Rasul dan orang-orang yang beriman.
Bagaimana cara mendapatkannya? Melalui hadis Qudsi Allah menjawab, “Sesungguhnya Tuhan kalian berfirman setiap hari, Akulah Al Aziz (Yang Maha Mulia), barangsiapa yang menghendaki kemuliaan dunia dan akhirat, hendaklah dia taat kepada Al Aziz”.
Seseorang yang mencari kemuliaan dengan cara mengabdi kepada manusia dan dunia (harta, tahta, dan mahkota), maka mereka tidak mendapatkan apa-apa, melainkan kehinaan di mata Allah dan di mata manusia. Allah akan menghinakan di dunia dan di akhirat. “Siapa yang mencari kemuliaan melalui suatu kaum, Allah akan menghinakannya melalui mereka”.
Itulah sebabnya, Rasulullah SAW yang memiliki sifat Aziz, menolak ketika ditawari jabatan, harta benda, dan wanita cantik, agar dia bersedia meninggalkan agamanya. Bahkan beliau berulangkali menyampaikan kepada manusia bahwa perjuangan dan dakwahnya sama sekali tidak minta diupah oleh siapapun. Beliau dan keluarganya juga tidak menerima shadaqah, zakat, dan infaq dari manusia. Sebaliknya, beliau amat peduli kepada manusia tanpa mengharap balas jasa.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS At Taubah:128)
Orang yang mulia (aziz) di sisi Allah adalah mereka yang sangat banyak dibutuhkan hamba-hamba Allah dalam urusan yang paling penting, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan kebahagiaan abadi. Dalam hal ini, maka ranking pertama diduduki oleh para Rasul dan Nabi. Disusul kemudian para sahabat, tabiin, dan mereka yang melanjutkan risalah perjuangannya. Tingkat kemuliaan ini sangat ditentukan oleh besar kecil peranannya dalam membimbing dan mengarahkan masyarakat ke jalan-Nya.
Orang yang menghayati sifat Al Aziz senantiasa menjaga dirinya dari ketergantungan kepada siapapun. Ia senantiasa iffah (menjaga kesucian diri) dan uzlah dari kepentingan dunia. Ia tidak pernah mau mengulurkan tangan meminta bantuan orang lain, apalagi meminta-minta. Dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, ia tetap menahan diri. Mereka ini telah digambarkan dalam Al Qur’an: “Orang-orang yang tidak tahu mengira mereka orang kaya karena memelihara diri mereka dari meminta-minta.” (QS Al Baqarah: 273)
Orang yang meneladani sifat Al Aziz senantiasa mengedepankan integritasnya, ia selalu tampil berwibawa, disegani, dan dihormati oleh setiap yang mengenalnya. Integritas pribadinya sangat menonjol, karena ia tidak pernah merendahkan diri kepada dunia maupun orang lain disebabkan harta atau kedudukan sosial. “Barangsiapa merendah demi kekayaan, maka dua pertiga agamanya telah hilang”.
Tuhan kami, Engkaulah Al Aziz, bersihkan hati kami dari rayuan materi sehingga kami tidak memandang mulia selain Engkau. Persaksikan kepada kami makna kemuliaan sehingga jiwa kami menjadi tebusan untuk-Mu dan himpunlah kami bersama orang-orang arif yang telah Engkau anugerahi kemuliaan sehingga hati mereka penuh kemuliaan-Mu serta curahkanlah kepada kami rahasia kemuliaan-Mu sehingga jiwa kami mengangkasa menuju keharibaan-Mu. Amin.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 07/Tahun I/2005)
Oleh: Hamim Thohari
Sempurnanya Pemeliharaan Al-Muhaimin
Sebelum meninggalkan sarangnya, seekor induk burung memeriksa lingkungannya. Ia baru terbang meninggalkan sarangnya bila dipastikan anak burung yang ditinggalkannya benar-benar aman dari binatang pemangsa. Setelah cukup mendapatkan makanan yang bisa mengenyangkan perutnya dan bekal untuk anaknya, ia segera beranjak pulang. Dengan penuh kesabaran, sang induk menyuapi makanan dan merentangkan sayapnya untuk melindungi anak-anaknya. Rutinitas itu dilakukannya setiap hari sampai si anak burung dapat makan sendiri.
Dalam keadaan si anak burung itu masih lemah, jangan coba-coba mengganggu. Si Induk pasti marah dan mematok pengganggunya, hampir-hampir ia sendiri tak memedulikan keselamatannya sendiri. Begitulah pemeliharaan si induk burung terhadap anaknya. Ia menjaga, merawat, dan memeliharanya, juga mengajarinya berjalan, terbang, dan mencari makan. Sang induk baru melepaskan tanggung jawab pemeliharaannya ketika sang anak sudah benar-benar mandiri. Pemeliharaan seperti ini oleh orang Arab disebut MUHAIMIN.
Tak hanya induk burung yang secara naluriah melakukan pemeliharaan seperti ini, juga sebagian besar induk binatang lainnya terhadap anak-anaknya. Demikian pula makhluk Allah yang bernama manusia. Suatu hari Aisyah mendapati seorang ibu bersama dua anaknya sedang berjalan mencari makanan. Dari tangan Aisyah, si ibu mendapatkan tiga potong roti, yang segera dibagikan secara merata, masing-masing satu potong. Karena sangat lapar, kedua anak itu melahapnya sangat cepat hingga habis, sementara bagian si ibu belum dimakan. Si ibu sejenak memandangi kedua anaknya yang kelihatan masih kurang. Dengan penuh kasih sayang, roti sepotong yang menjadi bagiannya itu dibagi habis untuk anak-anaknya, sementara sang ibu rela menahan lapar demi anak-anaknya.
Peristiwa tersebut diceritakan Aisyah kepada suaminya, Rasulullah saw. Beliau kemudian berkomentar bahwa kasih sayang dan pemeliharaan Allah kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang dan pemeliharan sang ibu kepada anak-anaknya.
"Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Memelihara." (QS. Al-Hasyr: 23)
Bagaimana pemeliharaan Allah terhadap hamba-Nya? Dialah AL MUHAIMIN yang memelihara seluruh alam, terlebih manusia dengan segala kesempurnaan-Nya. Pemeliharaan Allah kepada manusia tak bisa dibandingkan dengan apapun juga. Disamping karena kasih sayang-Nya yang tak terbatas, pengetahuan-Nya tentang yang dipelihara-Nya meliputi segala sesuatu hingga detailnya.
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifat-nya?)” (QS Ar-Ra’d: 33)
AL MUHAIMIN adalah Dzat yang memelihara dan mengurusi segala permasalahan makhluk-Nya. Dia melihat dan mengetahui segalanya tentang makhluk-Nya, tanpa ada yang tersembunyi, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, juga gerakan hati. Tidak ada sesuatu apapun yang luput dari-Nya, termasuk sebiji atom yang sangat kecil dan ringan. Dia mengawasi segala sesuatu, menjaga dan memeliharanya.
Menurut Al Ghazali, kata Al Muhaimin yang menjadi salah satu Asma Allah yang Indah mengandung makna bahwa Allah itu menangani, mengawasi segala urusan makhluk-Nya dari sisi amal perbuatan mereka, rejeki, dan ajalnya. Pengawasan dan pemeliharaan itu dilakukan dengan pengetahuan, penguasaan terhadap kodrat, dan pemeliharaan terhadap akal.
Jika dikaitkan dengan Asma al Husna sebelumnya, Al Muhaimin dideretkan setelah As Salam dan Al Mukmin. Itu artinya bahwa untuk memenuhi rasa damai dan aman yang dikandung oleh As Salam dan Al Mukmin, diperlukan pengetahuan yang sangat dalam menyangkut hal-hal yang bersifat tersembunyi, yaitu Al Muhaimin. Sifat ini bermakna kesaksian yang dilandasi pengetahuan menyeluruh tentang detail, serta pandangan yang mencakup keseluruhan dari yang lahir maupun yang batin, sehingga tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya.
Bagi kita yang menghayati Al Muhaimin senantiasa menyadari bahwa Allah menguasai dan mengetahui segala gerak geriknya, bahkan yang disembunyikan dalam hatinya. Itulah sebabnya penghayat Al Muhaimin selalu meluruskan niat dan motivasinya agar tidak melenceng dari garis ketentuan-Nya.
Ya Ilahi, Engkau pengawas sempurna lagi saksi yang pengetahuan-Nya mencakup seluruh alam raya, ...Engkau pula yang terlaksana kudrat-Nya di seluruh wujud ini, limpahkanlah cahaya rahasia nama-Mu “AL MUHAIMIN” sehingga aku mengetahui rincian gejolak hatiku, sisi terdalam dari nuraniku, serta rahasia-rahasia penutup diriku... agar aku bisa mengawasi niat dan motivasiku, meluruskan anggota tubuhku, dan mampu pula menegakkan perbuatanku sesuai dengan apa yang Engkau sukai. Ya Allah, laksanakanlah keinginanku melalui kudrat-Mu terhadap anggota tubuhku sehingga aku dapat mengarahkannya menuju syariat-Mu.
* Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) edisi cetak No. 06/Tahun I/2005
Oleh: Hamim Thohari
Al-Muhyiy, Yang Maha Menghidupkan
"Dan sebagian dari tanda-tanda (Kekuasaan)Nya kamu melihat bumi itu kering tandus, maka jika Kami turunkan air di atasnya niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Fushshilat (43) : 39)
Al-Muhyiy berasal dari akar kata yang terdiri dari dua huruf, yaitu “ha” dan “ya.” Arti dasarnya adalah “hidup,” sedang arti keduanya adalah “malu.” Dalam Al-Qur’an, kata Al-Muhyiy hanya ditemukan dalam dua ayat yang terdapat pada surat Ar-Ruum (30) : 50 dan surat Fushshilat (41): 39, seperti yang ternukil di atas. Meskipun demikian, ayat-ayat yang memuat tentang af’al Allah sebagai penganugerah kehidupan dapat dijumpai di sekitar 50 ayat.
Sebagian besar dari ayat-ayat di atas yang menjadi obyeknya adalah tanah gersang yang dijadikan-Nya hidup dan subur, sebagian lagi tentang tanaman, dan yang tidak kalah pentingnya adalah manusia. Khusus untuk manusia, makna menghidupkannya bisa ganda, yaitu menghidupkan secara fisik berupa nyawa. Manusia yang telah mati bertahun-tahun akan dihidupkan lagi pada hari kebangkitan, setelah semuanya dibinasakan.
Makna kedua dari menghidupkan adalah menanamkan keyakinan dan iman, semangat baru, serta menganugerahkan kualitas hidup yang lebih baik. Justru makna kedua tersebut jauh lebih luas jangkauannya.
Kalau diperhatikan, betapa banyak manusia hidup yang sesungguhnya telah kehilangan semangat dan vitalitas? Mereka tidak memiliki tujuan hidup, juga masa depan. Mereka telah kehilangan harapan, cita-cita, dan kehendak. Mereka ikut ke mana arah angin bertiup, terombang-ambing di tengah pantai seperti gundukan busa, kadang di tepi kadang di tengah.
Orang-orang yang tak lagi memiliki harapan, pada dasarnya tak lebih dari mayat yang berjalan. Nyawanya memang masih ada, yang karenanya mereka masih bisa berjalan, akan tetapi jiwanya sudah mati atau setidak-tidaknya sedang sakit.
Itulah sebabnya Allah berfirman: “Apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang-orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar daripadanya?” (QS. Al-An’am (6): 122)
Selain memberi cahaya berupa keyakinan yang kuat, iman yang teguh, dan semangat yang membara, Allah juga menghidupkan manusia dengan menganugerahkan kualitas hidup yang lebih baik. Allah mengangkat derajatnya, meninggikan kapabilitasnya, dan memberikan kecakapan hidup yang memadai sehingga orang tersebut mampu bekerja secara profesional. Kepada mereka, Allah menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
“Barang siapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan menganugerahkan kepada mereka kehidupan yang lebih baik. (QS. An-Nahl: (16): 97).
Sebagai khalifah di muka bumi, sesungguhnya kita juga dapat meniru sifat dan af’al Allah yang satu ini (Muhyiy) dalam batas-batas tertentu. Ketika kita menjaga seseorang dari ancaman pembunuhan, maka sesungguhnya kita telah berperan dalam batas-batas tertentu sebagai al-muhyi.
Allah berfirman: “Barangsiapa menghidupkan (memelihara kehiduan seorang manusia), maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (QS. Al-Ma-idah (5) : 32).
Kita juga bisa menjalankan peran “menghidupkan” ketika kita memberi dorongan semangat, motivasi, dan keyakinan kepada saudara-saudara kita yang loyo, kehilangan vitalitas hidup, murung, dan kehilangan masa depan. Kita bisa menjadi motivator yang menyuntikkan semangat baru, keyakinan baru, dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Ketika hal itu kita lakukan, pada dasarnya kita telah meniru “Al-Muhyiy” dalam batas-batas kemanusiaan kita.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfal (8): 24).
Oleh: Hamim Thohari
Al-Mubdi-u: Yang Maha Memulai
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? (QS. Ath-Thur: 35)
Pertanyaan di atas ditujukan kepada mereka yang masih ragu tentang penciptaan alam, termasuk manusia. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa alam itu ada dengan sendirinya dan tidak ada yang menghancurkan serta membinasakannya kecuali waktu.
Anggapan seperti itu telah direkam al-Qur’an:
“Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga.” (QS. Al-Jatsiyah: 24).
Teori evolusi yang digagas oleh Darwin dan ilmuwan lainnya hanyalah bersifat hipotesa yang sama-sekali belum atau tidak akan terbukti kebenarannya, selama-lamanya. Teori yang menduga bahwa terwujudnya sesuatu karena adanya unsur-unsur sebelumnya yang mengalami proses evolusi sehingga menghasilkan sesuatu yang baru, hanyalah isapan jempol yang tak pernah terbukti secara ilmiah.
Memang, kaum atheis selalu mempertanyakan, jika segala sesuatu itu ada yang menyiptakan, lalu siapakah yang menyiptakan Tuhan? Pertanyaan seperti itu sudah ada sejak zaman Nabi saw, oleh karenanya beliau telah mengajarkan kepada kita: “Sesungguhnya setan dating kepada salah seorang di antara kamu dan bertanya, siapakah yang menyiptakan langit? Dijawab, Allah. Ditanya lagi, siapakah yang menyiptakan bumi? Dijawab, Allah. Lalu, ia akan bertanya lagi, siapakah yang menyiptakan Allah? Maka apabila muncul pertanyaan seperti itu, segeralah berkata: “Aku beriman kepada Allah dan Rasulullah saw.”
Pandanglah alam raya yang terbentang luas di depan kita, perhatikan satu persatu ciptaan Allah yang nyaris tak terhingga itu, betapa indah dan harmonis. Lalu, tanyalah dalam hati yang terdalam, Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? (QS. Ibrahim: 10).
Dalam al-Qur’an, kata Al-Mubdi-u dalam bentuk isim (kata benda) tidak ditemukan, baik yang disifatkan kepada Allah atau pun kepada selain-Nya. Meskipun demikian, bentukan kata dari Al-Mubdi-u dalam bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja masa kini dan masa depan), maupun dalam bentuk fi’il maadhi (kata kerja masa lampau yang mengandung makna kepastian) dapat dijumpai dalam beberapa ayat. Salah satu contohnya adalah:
“Hanya kepada-Nyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar dari Allah, sesungguhnya Dia-lah yang memulai (menyiptakan) makhluq”. (QS. Yunus: 4)
Dalam ayat yang lain juga dapat dijumpai, misalnya:
“Atau siapakah yang memulai (menyiptakan) makhluq dan siapa pula yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Katakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. An-Naml: 64)
Ya, Allah telah memperkenalkan diri-Nya kepada kita sebagai Al-Mubdi-u, Yang Maha Memulai. Menurut Al-Qusyairi, Al-Mubdi-u berarti Dialah yang menyiptakan makhluq dari tiada menjadi ada tanpa contoh sebelumnya, dan mengembalikan mereka dengan kebangkitan serta menghidupkan kembali makhluk-makhluk-Nya yang telah mati pada hari kiamat nanti.
Contoh sederhana adalah penyiptaan manusia. Walaupun penyiptaan manusia itu berulang-ulang dan dalam jumlah yang amat besar, penyiptaannya bukan pabrikan atau bersifat massal. Dua anak kembar yang lahir dari rahim yang sama, tidak persis sama, baik bentuk fisik, apalagi struktur kejiwaannya. Kreasi Allah sungguh tak terbatas, selalu terbarukan.
Oleh: Hamim Thohari
Tuesday, November 15, 2011
Al-Hayyu, Yang Maha Hidup
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rizki yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. (Al-Ghafir: 64 -65)
Dalam al-Qur’an, kata Al-Hayy bisa didapati sebanyak sembilan belas kali. Empat belas ayat berkait langsung dengan sifat dan asma Allah, sedangkan lima ayat yang lain berbicara mengenai manusia.
Hidup adalah antitesis mati. Bagi Allah, hidup adalah sifat wajib yang dimiliki, sebaliknya mustahil bagi-Nya sifat ”mati”.
Ketika kita membahas sifat dan asma Allah ”Al-Hayy”, terdapat dua pemahaman yang saling melengkapi. Pertama, bahwa Dia Yang Maha Mencukupi Dirinya sendiri sejak masa pra-azali dan akan berlangsung selamanya. Sebaliknya, setiap makhluq hidup hanya bisa hidup atas anugerah dan karunia Allah. Mereka tidak bisa memberi rizki kehidupan kepada diri mereka sendiri, apalagi kepada yang lain. Manusia diberi hidup dalam batas yang telah ditentukan, jika telah habis masanya maka kematian akan segera menemuinya.
”Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)”. (Az-Zumar: 30)
Pemahaman kedua, Allah hidup tiada berawal dan tiada berakhir. Dia hidup dan tidak pernah mati. Dia yang menciptakan waktu, dan karenanya Dia tidak dibatasi dimensi waktu. Bagi-Nya tiada waktu lalu, sekarang, juga yang akan datang. Dia di luar semua itu.
”Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya, dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya”. (Al-Furqan: 58)
Manusia tidak bisa hidup langgeng dan abadi seperti Allah. Akan tetapi manusia bisa melanggengkan hidupnya dengan ”keharuman nama” setelah kematiannya, dengan meninggalkan karya-karya monumental yang bisa dinikmati manusia selama-lamanya. Nabi Muhammad telah lama meninggal dunia, tapi beliau telah meninggalkan karya kemanusian yang luar biasa sehingga namanya tetap langgeng dan abadi hingga akhir zaman nanti.
Demikian juga para syuhada, orang-orang yang mati syahid. Orang-orang yang mati karena memperjuangkan agama Allah ini dalam realitasnya telah mati, akan tetapi pada hakekatnya mereka tetap hidup. Sekalipun mereka telah mati, tapi betapa banyaknya manusia hidup yang terinspirasi olehnya? Itulah sebabnya Allah menegaskan:
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (Al-Baqarah: 154)
Jika para syuhada’ yang telah lama mati disebut ”tetap hidup” , maka sebaliknya ada orang yang dapat menarik dan menghembuskan nafas, otak dan jantungnya juga berjalan normal, akan tetapi karena tidak mendengar dan memperkenankan panggilan Allah maka orang tersebut dinilai telah mati. Yang demikian itu telah ditegaskan Allah dalam al-Qur’an:
”Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”. (An-Naml: 80)
Sifat Allah Al-Hayy sebanyak tiga kali dirangkai dengan sifat Al-Qayyum yang berarti Maha Berdiri sendiri lagi Maha Mengurus makhluk-makhluk-Nya. Menurut sebagian Ulama’ hal tersebut memberi teladan kepada manusia bahwa hidup yang sebenarnya itu bukan sekadar hidup untuk memenuhi dirinya sendiri, tapi hidup itu pada hakekatnya adalah memberi hidup dan sarana kehidupan kepada pihak lain.
”Dan barangsiapa yang menghidupkan (memelihara kehidupan) seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya”. (Al-Maidah: 32)
Dengan demikian, alangkah mulianya orang yang bersedekah kepada yang sedang lapar dan haus. Alangkah mulianya para pengusaha yang menyiapkan lapangan kerja dan membayar para buruh dengan layak dan tepat pada waktunya. Alangkah mulianya para dokter, apoteker, dan para penyembuh lainnya yang telah bekerja sungguh-sungguh dan tulus ikhlas untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit. Demikian juga para polisi dan aparat keamanan lain yang menjaga keamanan dan perdamaian hidup.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sementara dan berlangsung sebentar saja. Kehidupan yang sesungguhnya bagi kita adalah hidup di akherat. Untuk itu mari kita jadikan hidup di dunia ini sebagai bekal untuk hidup yang sesungguhnya di akherat kelak.
”Sesungguhnya tempat tinggal di akherat itulah sebenar-benar kehidupan, sekiranya mereka mengetahui”. (Al-Ankabut: 64)
Oleh: Hamim Thohari
Thursday, November 10, 2011
Al-Baari, Yang Maha Merencanakan
Manusia adalah salah satu mahakarya Allah yang luar biasa. Manusia bukanlah bentuk pengulangan dari ciptaan sebelumnya. Tidak ada manusia yang sama, sekalipun telah mencapai milyaran jumlahnya. Baik dari segi fisik, apalagi struktur kejiwaannya.
Allah menciptakan segala ciptaannya dengan teliti, sehingga tak satupun manusia yang memiliki sidik jari yang sama, bentuk mata yang sama, bahkan bau badan yang sama. Masing-masing individu berbeda. Manusia memang tidak diciptakan secara mass-product, demikian juga binatang, dan segala ciptaan lainnya. Sungguh luar biasa.
"Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS. Al-Insaan: 1)
Al-Baari adalah nama Allah yang menunjukkan kemampuan menciptakan sesuatu dari tiada sama sekali menjadi ada. Makhluk manusia diciptakan dari tiada menjadi ada. Sebelum diciptakan, manusia belum bisa disebut apa-apa (lam yakun syaian madzkuura). Sebelum berbentuk setetes mani yang dimiliki bapak kita, sebutan apa yang cocok untuk kita? Sebelum bapak ibu kita menikah, apa sebutan kita? Allahu Akbar, hanya Dia yang mengadakan manusia dari tiada menjadi ada.
Lalu, adakah keberadaan kita di muka bumi ini tanpa rencana dan blueprint-Nya Al-Baari? Sungguh mustahil, karyacipta yang mahakompleks itu tercipta tanpa rencana, tanpa design, dan tanpa blueprint. Semuanya telah dituang dalam sebuah blueprint yang tersimpan rapi di sisi-Nya. Semua yang tercipta, termasuk alam semesta, ada, berkembang, dan kemudian menjadi tiada kembali sesuai dengan rencana dan blueprint-Nya.
Jika sekiranya rencana Allah itu digambar dalam lembaran kertas, tak kan terhitung jumlah kertas yang dibutuhkan. Apalagi rencana itu tidak saja bersifat global, tapi hingga detailnya. Bagian demi bagian, elemen per elemen. Mahasuci Allah dari segala bentuk penyerupaan dan dari segala angan-angan.
Al-Baari dengan demikian dapat diartikan sebagai Yang Maha Merencanakan segala sesuatu. Dengan sifat dan Asma-Nya tersebut, Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar senantiasa membuat rencana sebelum mengerjakan sesuatu. Jika Allah Yang Maha Sempurna dan Berkuasa atas segala sesuatu dalam penciptaan mahakarya-Nya saja menggunakan sebuah rencana, bagaimana dengan kita, makhluk dan hamba-Nya yang lemah dan hina? Dalam rangka bertakhalluq (meneladani Sifat dan Asma Allah itu) kitapun hendaknya membuat rencana setiap kali hendak melakukan sesuatu.
Setiap individu harus memiliki rencana, baik yang bersifat jangka panjang, menengah, dan pendek. Bahkan setiap hari hendaknya setiap pribadi menyusun sebuah rencana. Jangan tidur sebelum membuat rencana kegiatan esok hari. Seorang karyawan, jangan pulang dari kantor sebelum menulis catatan tentang rencana kerja esok hari. Seorang guru, jangan meninggalkan sekolah sebelum membuat rencana untuk mengajar esok hari.
Apalagi seorang pemimpin, mereka dituntut untuk menyusun visi dan misi agar organisasi, bisnis, atau sosial yang dipimpinnya dapat berjalan sesuai harapan. Visi yang bagus merupakan hasil perencanaan yang matang dan seksama yang mencerminkan sebuah proses kegiatan yang rapi, sistematis, dan berkelanjutan.
Tolok ukur kepemimpinan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menyusun rencana. Seorang pemimpin yang gagal menyusun rencana, berarti dia telah menggali lubang kematian bagi diri dan organisasi yang dipimpinnya. Dia akan membiarkan organisasi berjalan apa adanya, tanpa target, tanpa arah, dan tanpa tujuan. Biasanya organisasi seperti ini akan layu sebelum berkembang.
Merencanakan sama artinya dengan membangun sebuah proses untuk sebuah sukses, sebab sukses itu merupakan serangkaian proses panjang yang diusahakan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sukses itu bukan seperti durian jatuh dari pohon. Bukan pula sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tanpa direncanakan dan diupayakan. Sukses adalah paduan dari rencana dan usaha keras untuk mencapainya.
Ya Allah, anugerahi kami kemampuan untuk mengendalikan diri agar kami dapat membuat rencana yang baik, rapi, sistematis, dan berkelanjutan dalam kehidupan kami di dunia ini menuju ridha-Mu.
Ya Allah, karuniai kami kemampuan mendesign rencana, agar kami terhindar dari sikap tergesa-gesa dan aniaya.
Ya Allah, kabulkan doa kami.
* Tulisan ini dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 11/Tahun I/2005
Oleh: Hamim Thohari
Al-Mumit: Yang Maha Mematikan
Kapan manusia disebut mati? Sebagian kita menjawab, ketika nyawa telah berpisah dengan jasad manusia. Lalu apakah nyawa itu? Jika ada, bertempat dimana? Wujudnya apa? Kapan berpisahnya?
Dan sesungguhnya Dia yang menjadikan (manusia) tertawa dan menjadikan (mereka) menangis. Dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. (An-Najm: 43-44)
Seorang anak dengan mudah bisa membedakan antara sebatang kayu dengan sebatang pohon. Dia juga mengerti bahwa sebatang pohon itu hidup dan sebatang kayu itu mati. Ketika diminta untuk menjelaskan apa hakekat “kehidupan” dan hakekat “kematian”, mereka hanya bisa bungkam, bahkan seorang profesor botani sekalipun tak bisa menjelaskan. Maksimal mereka hanya bisa menunjukkan tanda-tanda kehidupan, yaitu tumbuh, bergerak, dan berkembang. Jika sesuatu itu tidak tumbuh, tidak bergerak, dan tidak berkembang, maka sesuatu itu berarti telah mati.
Kapan manusia disebut mati? Sebagian kita menjawab, ketika nyawa telah berpisah dengan jasad manusia. Lalu apakah nyawa itu? Jika ada, bertempat dimana? Wujudnya apa? Kapan berpisahnya? Pertenyaan-pertanyaan di atas tidak bisa kita jawab, kecuali bahwa kita yakin bahwa dalam diri manusia yang hidup terdapat nyawa, dan nyawa itu suatu saat akan dicabut oleh Allah yang Maha Kuasa mencabutnya. Dia-lah Al-Mumit, Yang Maha Mematikan.
Dalam realitasnya, seribu satu cara manusia menuju pada kematiannya. Ada yang disebabkan sakit dan ada pula yang karena kecelakaan. Berjuta-juta jenis penyakit, dan beribu-ribu jenis kecelakaan, di laut, di udara, dan di daratan. Berjuta-juta sebab orang mati, tapi hanya satu yang namanya mati, yaitu ketika ajal telah tiba dan ketetapan Allah telah dijatuhkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu”. (An-Nisaa: 78)
Tak ada tempat bersembunyi dari mati. Sekalipun kita membuat benteng yang kokoh, sekalipun kita bersembunyi di dasar laut, jika ajal telah tiba, maka kematian akan menjemput kita.
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu”. (Al-Jumu’ah: 8)
Tidak ada orang yang sanggup memberi hidup, juga sebaliknya tidak ada seorang pun yang bisa mematikan. Betapa banyak orang yang berusaha bunuh diri, tapi justru ia selamat. Sebaliknya, berapa banyak orang yang berusaha selamat, ternyata justru mengalami kematian.
Bagi orang yang beriman, kematian itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, sebagaimana kehidupan juga tak perlu dikhawatiri. Hidup dan mati adalah ketetapan Allah yang harus diterima sebagai taqdir-Nya. Ketika diberi kesempatan hidup, kita manfaatkan kehidupan itu untuk beribadah dan beramal shalih serta menghimpun sebanyak-banyakanya pahala di sisi Allah swt. Ketika kematian datang, kita sambut dengan suka cita.
Bagi kita, kematian adalah pintu gerbang kehidupan yang sebenarnya. Hanya melalui gerbang itu kita bisa menjumpai kekasih kita, Yang Maha Kasih, yaitu Allah SWT. Hanya dengan kematian itu kita bisa menjumpai surga, suatu tempat yang telah dijanjikan berulang-ulang oleh Allah dalam al-Qur’an. Hanya dengan memasuki pintu gerbang yang berupa kematian itu kita bisa menjumpai manusia terbaik, rasul yang paling mulia, Muhammad saw. Betapa indahnya gerbang kehidupan yang sebenarnya itu?
Meskipun demikian kita tidak mengharapkan kematian, sebab kita juga belum merasa cukup mengumpulkan bekal menyusuri kehidupan yang begitu panjang. Tabungan amal shalih kita belum mencukupi untuk bekal hidup di akherat nanti. Kita masih perlu mengumpulkan pundi-pundi pahala. Kita masih terlalu sibuk mempersiapkan bekal hidup di dunia yang tidak terlalu lama. Kita masih lalai mengingat mati.
Ketahuilah bahwa kita semua adalah calon-calon mayat. Saat ini kita hanya menunggu giliran, kapan waktunya Allah mencabut nyawa kita, memisahkan nyawa dari jasad kita, dan mengembalikan jasad pada asalnya, yaitu tanah dan mengirim “ruh” kita kembali ke alam kehidupan yang sebenarnya. Sayangnya, disana hanya tersedia dua pilihan untuk tempat tinggal manusia, surga atau neraka. Bekal kita selama hidup di dunia akan menentukan di mana kita akan tinggal selama-lamanya.
Oleh: Hamim Thohari
Subscribe to:
Posts (Atom)