Monday, May 2, 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat

KOMPAS.com - Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.

Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.

Dalam "kalimat lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi?

Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.

Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.
Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!
Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran.

Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.

Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!

Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.
Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.

Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Penulis adalah Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

Jangan Paksa Anak Tentukan Pendidikannya

JAKARTA, KOMPAS.com - Seringkali orang tua memandang peranannya bagi anak sebagai hal mutlak. Di sini, artinya, orang tua adalah faktor penentu karena anak harus sekolah dan tinggal menurut saja perkataan orang tua. Padahal, jika hal tersebut tidak dipikirkan dengan baik, anaklah yang kelak menjadi korban.


Banyak mahasiswa akhirnya mengeluh tentang kesulitan disiplin ilmu yang ia pelajari karena pada dasarnya mereka tidak suka dan tidak sesuai dengan bakat dan keterampilannya.
-- Henny Supolo Sitepu

Pakar pendidikan dari Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu mengatakan, dalam memutuskan pilihan untuk anak, ada baiknya tidak melalui paksaan. Menurutnya, sesuatu yang dipaksakan pada akhirnya akan mendatangkan akibat kurang baik, termasuk dalam menentukan pilihan pendidikan bagi anak.

"Kita dapat menengok kasus-kasus yang terjadi di perguruan tinggi. Banyak mahasiswa yang akhirnya mengeluh tentang kesulitan disiplin ilmu yang ia pelajari karena pada dasarnya mereka tidak suka dan tidak sesuai dengan bakat dan keterampilannya karena hanya menuruti keinginan orang tua," ujar Henny kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (27/4/2011) pekan lalu.

Henny menuturkan, terkadang orang tua belajar dari pengalamannya sendiri dalam menyekolahkan anaknya. Ia mencontohkan, orang tua yang sukses di bidang wirausaha cenderung mengarahkan anaknya untuk sekolah yang berhubungan dengan perekonomian. Contoh lain, orangtua yang bergelar insinyur dan sukses akan mengarahkan anaknya untuk sekolah di jurusan teknik, dan sebagainya.

"Itu mungkin benar. Namun perlu disadari, bahwa pada akhirnya, kelak anak sendirilah yang akan menentukan masa depannya, karena mereka sendiri yang menjalani itu. Maka, yang terbaik adalah orang tua jangan memaksa, bersikaplah demokratis terhadap anak," jelasnya.

Namun, lanjut Henny, hal itu bukan berarti orang tua menyerahkan sepenuhnya keinginan anak untuk menentukan pilihannya. Orang tua harus tetap mempertimbangkan pilihan anak. Setelah itu, orang tua juga harus dapat menjelaskan kelebihan dan kekurangan atas pilihan mereka.

"Ini menyangkut masa depan anak, kan? Karena kita lihat sekarang, banyak yang kesulitan memasuki bidang kerja karena ijazahnya tidak sesuai," kata ibu dua anak ini.

Wednesday, March 2, 2011

Penelitian: ASI Bisa Membuat Bayi Laki-Laki Lebih Cerdas

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA--Menyusui bayi Anda dapat membantu mereka mencapai keberhasilan akademis pada usia 10 tahun, terutama pada si buyung, demikian hasil penelitian terbaru menyebutkan. Para peneliti dari University of Western Australia menemukan bahwa anak-anak yang terutama mendapatkan ASI selama enam bulan, tampaknya lebih baik dalam matematika, membaca, menulis, dan mengeja. "Efeknya terkuat pada anak laki-laki.," demikian bunyi hasil penelitian.

Diperkirakan bahwa ikatan antara ibu dan bayi dipupuk selama menyusui adalah berarti ibu yang lebih perhatian dan mendukung anak-anak mereka. "Anak laki-laki lebih responsif terhadap perhatian ibu ketika belajar, ini yang dapat menjelaskan mengapa menyusui memiliki dampak yang lebih besar pada mereka," kata para peneliti.

Para peneliti juga menyebutkan bahwa mungkin ada zat dalam ASI yang membantu otak berkembang. Efek ini akan lebih terasa pada anak laki-laki karena mereka tidak memiliki hormon wanita yang diketahui untuk melindungi otak.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics, menyebutkan, "Dengan melihat anak laki-laki dan perempuan secara independen, kami menemukan bahwa menyusui dominan selama enam bulan atau lebih terkait dengan kemampuan anak akan mata pelajaran matematika, membaca, menulis, dan ejaan dengan skor yang tinggi untuk anak laki-laki, tetapi tidak ada efek menyusui terlihat jelas pada pencapaian pendidikan anak perempuan untuk subjek apapun.

"Kami menemukan interaksi yang signifikan untuk matematika dan ejaan yang mengungkapkan bahwa anak laki-laki lebih mungkin dibandingkan anak perempuan telah meningkatkan nilai akademik jika mereka mendapatkan ASI untuk jangka waktu lama. "Rata-rata, anak laki-laki memiliki skor berhitung dan keaksaraan yang lebih rendah dibandingkan anak perempuan, namun skor membaik jika anak itu disusui selama enam bulan atau lebih."

Penelitian ini melibatkan lebih dari 1.000 anak yang diamati dari saat ibu mereka hamil 18 minggu sampai mereka mencapai usia sepuluh tahun ketika mereka dinilai menggunakan standar nilai matematika, membaca, menulis, dan ejaan.

Para penulis menyesuaikan dengan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pencapaian pendidikan, termasuk pendidikan ibu dan pendapatan keluarga. Namun mereka tidak bisa sepenuhnya menjelaskan kecerdasan ibu.

Peneliti utama, Dr Wendy Oddy, dari Pusat Penelitian Kesehatan Anak di University of Western Australia, di Perth, menulis dalam jurnal itu, "Efek positif pemberian ASI utama selama enam bulan atau lebih pada prestasi akademik memiliki efek menguntungkan pada perkembangan anak. Karenanya ibu harus didorong untuk menyusui paling tidak selama enam bulan atau bahkan lebih."

ASI, Modal Sederhana tapi Ampuh Bagi Masa Depan Si Kecil

REPUBLIKA.CO.ID, Kini, termos wadah air panas, susu formula dan dot dalam tas jinjing menjadi semacam perelengkapan dalam prosedur standar operasi (SOP) para ibu yang memiliki balita. SOP itu pun perlu dilakukan walau hanya sekedar berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan.

Report dan tidak praktis, tapi sudah menjadi kelaziman di zaman modern. Sebenarnya ibu yang memiliki balita tidak perlu serepot itu.

Pasalnya, Tuhan telah memberikan air susu ibu (ASI) yang menjadi bagian dari tubuh sang ibu. Tapi memang saat ini kian jarang ditemui ibu yang memberikan ASI kepada balitanya.

"Kami miris dengan rendahnya pemberian ASI kepada balita,". Sekretaris Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Semarang, Dyah Puspita Arum. Menurut Dyah, banyak ibu-ibu yang menghentikan pemberian ASI karena tuntutan ekonomi dan pilihan untuk bekerja.

Apa sih ASI itu? Mengapa penting memberikan ASI kepada si buah hati? Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang, Niken Widyah Hastuti, pemberian ASI sangat penting karena ASI mengandung zat imunitas dan frekuensi terjadinya diare rendah.

ASI mengandung 90 persen air. Pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan diare biasanya tidak membutuhkan cairan tambahan, seperti air gula atau teh. Baru pada kasus diare berat, cairan oralit yang diberikan dengan cangkir dimungkinkan baru dibutuhkan disamping ASI.

"Bayi ya cocoknya menyusu pada ibunya. Selain itu banyak manfaat dengan memberikan ASI untuk buah hati," katanya. Pemberian ASI, jauh lebih ekonomis, praktis, dan tidak membutuhkan waktu untuk mempersiapkannya.

Ada pula yang tidak dapat digantikan dengan susu formula saat memberikan ASI adalah yakni "skin to skin contact" alias kontak tubuh antara ibu dengan sang buah hati.

Sentuhan berupa pelukan dan kasih sayang ibu yang memberikan banyak pengaruh untuk pertumbuhan mental dan fisik bayi. Anak-anak yang diberi ASI akan tumbuh menjadi anak yang kepribadiannya baik, karena mereka tumbuh dalam keadaan dan suasana yang aman dan nyaman.

Kalau anak mengkonsumsi susu dengan menggunakan botol, maka kontak ibu dengan anak tidak ada. Pemberian ASI juga secara signifikan dapat mecegah gizi buruk pada balita.

Sementara ketua program studi S2 program hukum kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata, Agnes Widanti berpendapat bahwa ASI dapat menekan angka gizi buruk.

Salah satu permasalah gizi buruk di Indonesia ialah ketiadaan data yang akurat. Data yang dilansir dari pemerintah menyebutkan keberadaan gizi buruk di Indonesia nihil. Namun, Agnes meyakini masih banyak balita dengan gizi buruk.

Terkait posyandu, menurut Agnes Widanti, sebenarnya angaran yang digunakan adalah dari rakyat begitu juga penyelenggaranya juga rakyat. Ke depan seharusnya lebih ada perhatian terhadap posyandu.
"Memelihara kesehatan ibu dan anak, harus diperhatikan," kata Agnes.

Anak Hiperaktif? Cek Menu Makan, Bisa Jadi Tinggi Zat Aditif

REPUBLIKA.CO.ID, Hiperaktivitas pada anak meningkat pada beberapa tahun ini. Istilah itu tidak berlaku bagi perilaku yang sekedar nakal atau buruk. Ini mengacu pada anak yang cenderung merusak, mengganggu, berpotensi menggunakan kekerasan dan agresif.

Bocah hiperaktif hanya mampu memperhatikan sesuatu dalam jangka pendek dan sulit berkonsentrasi. Mereka sulit belajar, sulit duduk diam dan kadang tidak tidur sama sekali.

Dalam studi skala besar mengenai anak-anak dengan hiperaktif pada 1960-an oleh dokter Ben Feingold, satu grup senyawa kimia bernama salisilat, ditemukan terutama di zat tambahan makanan, ternyata membuat anak-anak jadi lebih hiperaktif. Ketika anak-anak tersebut diberi donat yang berisi selai mengandung rasa dan warna artifisial, perilaku mereka memburuk hanya dalam beberapa jam.

Ia menyimpulkan bahwa banyak bahan kimia yang digunakan dalam makanan artifisial adalah salisilat. Ia menyatakan bahan-bahan kimia itulah akar masalah bagi beberapa anak.

Anak dengan sindrom ADHD atau attention-deficit hyperactivity disorder, terbukti pula sensitif terhadap beberapa jenis zat kimia. Salah satu yang terburuk adalah pewarna tartrazine, dikenal dengan E102, parahnya zat pewarna ini menyebar di hampir seluruh jenis panganan dan minuman moderen, termasuk gula-gula, kue dan roti yang kerap dikonsumi anak.

Sejak itu, studi lain kian memperkuat pengaruh buruk zat aditif pada makanan dan ADHD. Studi-studi tadi menyimpulkan bahwa kombinasi pola makan berkualitas baik serta suplemen vitamin sederhana dapat mengubah kecerdasan dan perilaku anak-anak yang sulit dikendalikan.

Asam lemak esensial omega-3 dan -6 yang ditemukan pada minyak ikan juga krusial bagi pembentukan fungsi otak normal. Studi minyak ikan dari Universitas Oxford yang dipimpin Alex Richardson dengan reputasi mendunia, menyimpulkan bahwa enam puluh hingga tujuh puluh persen anak-anak dengan ADHD dan masalah serupa akan membaik secara nyata bila mengonsusi suplemem ekstrak minyak ikan murni dalam konsentrasi tinggi,

Pola makan ideal yang disarankan bagi anak-anak adalah makanan sehat yang bebas zat aditif, jika memungkinkan berbahan organik dengan menu bervariasi. Semua anak menikmati santapan manis sesekali, jadi lebih baik sediakan kue, biskui, pai atau pastri dan puding dalam rumah. Tentu lebih baik jika itu hasil karya orang tua sendiri, sehingga anda bisa memstikan mereka bebas dari zat pewarna dan perasa aditif.

Bila anda ingin lebih ketat lagi, berikut adalah daftar zat aditif yang patut dihindari

Pewarna Artifisial

102 tartrazine
104 quinoline yellow
107 yellow 2G
110 sunset yellow
122 azorubine, carmoisine
124 ponceau, brilliant scarlet
127 erythrosine
128 merah 2G 129 allura red
132 indigotine, indigo carmine
133 brilliant blue
142 green S, food green, acid brilliant green
151 brilliant black
155 brown, chocolate brown