Berita LP - UP2U Pulo Asem, 16 November 2011. Rabu malam (16 November 2011) ada kejadian menarik di UP2U Pulo Asem. Malam itu, UP2U Pulo Asem berkenan untuk menjadi tuan rumah pertemuan tiga komunitas, Hikmatul Iman (HI), komunitas Indigo dan beberapa teman dari komunitas Atlantis Indonesia (AI).Sebelumnya, mereka sudah sering bertemu dengan kang Dicky secara terpisah. Namun baru kali inilah, ketiganya berada dalam satu forum yang sama, di ruang terapi UP2U Pulo Asem yang seketika berubah menjadi ruang sauna karena sesaknya undangan yang hadir. Teman-teman HIers dari Ranting Satlat HI Jakarta yang jadwalnya malam itu latihan di Velodrome pun diminta bergabung oleh kang Dicky. Undangan bertambah oleh kehadiran teman-teman HIers dari ranting lainnya. Ada dua hal penting yang menjadi bahan diskusi malam itu.
Informasi Barang Mahal?
Pertama, soal informasi yang saat ini menjadi barang komoditas, barang berharga, dan dihargai mahal. Sudah dua kali kejadian dimana kang Dicky bertemu dengan staf ahli presiden bidang bencana, Andi Arief dan dua arkeolog dari Australia, Hans dan Roz Berekoven, membuktikan betapa mahalnya"harga" yang harus dikeluarkan untuk memperoleh informasi. Penelitian yang mereka lakukan di lempengan selat sunda dan perariran sepanjang zona netral pulau kalimantan dan malaysia menghabiskan biaya milyaran rupiah. Hans dan Roz yang menghabiskan uang yang dimilikinya untuk membiayai sendiri penelitiannya bahkan menjadi bangkrut karenanya. Program penelitian yang dibiayai pemerintah untuk meneliti lempeng selat sunda, tidak dapat dibayangkan lagi berapa jumlahnya. Meskipun tujuan keduanya berbeda, namun mereka menemukan hal yang sama, jejak warisan budaya suatu bangsa yang masih merupakan sebuah puzzle besar yang kepingan-kepingannya menimbulkan banyak pertanyaan.
Sulitnya informasi mengenai jejak budaya LEMURIAN pun dibuktikan oleh komunitas Metafisika Study Club yang dikelola oleh ibu Sita Sudjono. Beliau menghabiskan 51 tahun hidupnya untuk mencari jejak-jejak itu dan menyusun kepingan-kepingan puzzle, yang sampai saat ini pun, belum selesai. Di sisi lain, perdebatan di luar sana mengenai jejak peradaban budaya yang ada di Indonesia juga dilakukan oleh beberapa komunitas, salah satunya komunitas Atlantis Indonesia (AI). Komunitas-komunitas ini pun bersinggungan dalam perjalanannya, bersilahturahmi dan tentu saja, bertukar cerita.
Uniknya, baik komunitas dengan latar belakang penelitian ilmiah yang kuat hingga komunitas "indigo", dan metafisika, pada akhirnya mampu berbicara satu hal yang sama. Para peneliti dan eksplorer mengamini dari segi ilmiah dan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukannya, bahwa jejak budaya "kuno" di Indonesia memang ada. Dan pertanyaan-pertanyaan besar mengenai artefak yang ditemukan yang masih merupakan puzzle besar buat mereka menimbulkan pertanyaan, apakah budaya bangsa yang mereka cari itu se"kuno" yang distigmakan semula, atau justru sebaliknya?
Komunikasi antar komunitas yang berbeda latar belakang itu terbuka ketika kang Dicky, penulis novel trilogi ARKHYTIREMA menyuguhkan cerita mengenai budaya bangsa LEMURIAN. Dan informasi mengenai hal itu, mereka dapatkan dengan sangat mudah. Informasi menjadi suatu hal yang tidak mahal, seperti yang seharusnya.
Meluruskan Pemahaman Masyarakat tentang "Indigo"
Kedua, soal meluruskan pemahaman masyarakat tentang anak atau orang "indigo". Siang sebelumnya, kang Dicky ke TransTV. Mereka meminta pendapat kang Dicky tentang anak indigo. Mereka menerima penjelasan kang Dicky dan bahkan, memintanya untuk melihat salah satu anak indigo, sebut saja Grady.
Grady ini anak yang unik. Cita-citanya adalah menjadi maling. Tanpa pemahaman yang benar mengenai anak indigo, mungkin Grady dianggap sebagai anak bejat. Kecil-kecil kok sudah bercita-cita menjadi maling? Dan mungkin kita akan memperlakukan Grady sebagai anak nakal yang perlu "diluruskan". Namun demikian, Grady yang perlu diluruskan ataukah pemahaman kita yang perlu diluruskan mengenai anak indigo? Seringkali ketidakpahaman terhadap anak berdampak besar pada perlakuan kita terhadap anak tersebut, dan tentu saja, hidup anak itu kelak. Jangan sampai ketidakpahaman kita terhadap anak yang unik, menjadi penyebab utama kehancuran kehidupan anak itu.
Kuncinya menurut kang Dicky adalah, kita harus memasuki mereka, dan bicara dengan bahasa mereka. Kenapa Grady bercita-cita menjadi maling? Karena dia menangkap frekuensi maling sangat kuat di negara kita. Grady menangkap sinyal itu dan menganggap itu adalah hal yang benar karena merupakan sinyal yang dominan yang dilakukan oleh masyarakat. Ingat, Grady adalah anak indigo, sehingga sinyal yang masuk ke dia adalah sinyal maling. Karena ia belum mampu menyaring sinyal yang masuk ke dirinya, maka sinyal yang dominan dianggap sebagai sinyal yang benar atau dibenarkan masyarakat. Oleh karena itu, justru kita harus membantu anak-anak seperti Grady. Dan bantulah dengan ikhlas, dengan nama Allah. Pemahaman Grady tidak salah. Lihatlah sekitar kita, orang yang tidak mau maling akan dianggap aneh, dan bukan bagian dari kelompok. Kalau tidak mau ambil dari biaya proyek dianggap aneh. Jadi wajar bila anak indigo seperti itu bercita-cita jadi maling. Kitalah yang membuat anak seperti Grady berpikiran demikian.
Satu saran penting dari kang Dicky untuk acara indigo di TransTV adalah untuk tidak membahasnya secara mistis. Mereka adalah anak-anak yang unik. Jangan dibahas secara mistis, tetapi dari segi ilmiah. Saat ini, mereka masih menggunakan foto aura, padahal itu bukan indikator "indigo" yang bisa diandalkan. Keunikan mereka tidak bisa dilihat dari foto aura saja, tapi kita harus masuk ke bahasa mereka. Tiap anak perlakuannya berbeda. Tugas kitalah agar memahami mereka, mengarahkan bagaimana mereka, dan memberikan perlakuan ke mereka sesuai dengan yang mereka mau. Ketika mereka mengeluarkan sesuatu sebenarnya mereka mengeluarkan gelombang elektromagnetik.
Acara itu juga akan memperlihatkan pengalaman orang tua dan latar belakang si anak dalam bentuk drama, tetapi penjelasannya harus dalam bentuk ilmiah. Selama ini tidak ada orang yang bsia menjelaskan fenomena anak indigo secara ilmiah. Padahal, tiap orang adalah unik, indigo maupun tidak. Masing-masing dari kita memiliki tugasnya di planet bumi ini. Kalau dia hidup di planet lain, urusannya lain lagi. Jadi justru anak-anak yang indigo adalah unik. Keunikan ini yang akan dijelaskan dan diperkenalkan ke masyarakat secara benar, bukan secara mistis. Misalnya, mereka dirasuki sesuatu, dan akhirnya rukiyah, dlsb.
Sekali lagi, kita berbicara mengenai informasi, sebagai sebuah pengetahuan yang seharusnya dimiliki bersama, untuk kepentingan bersama pula. Bukannya dikemas sebagai barang komoditas, dihargai mahal, apalagi digunakan untuk menyesatkan pemahaman masyarakat. Malam itu, tiga komunitas yang hadir, meski dengan latar belakang dan keunikan yang berbeda-beda, memiliki pemahaman yang sama soal pentingnya informasi dan bersinergi. (hsn)
0 comments:
Post a Comment
sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun