Monday, October 31, 2011

Jangan Biarkan Anak Stres!

JAKARTA, KOMPAS.com — Spontan, ceria, tidak punya beban, dan jauh dari stres! Bila kecewa atau sedih, ia akan menangis sebentar dan segera pulih kegembiraannya. Itulah dunia anak-anak menurut pandangan orang dewasa. Pandangan itu melekat di benak orangtua dan menganggap stres hanya milik orang dewasa. Simak tanda-tanda anak Anda stres.

Lestari, ibu dari dua anak berusia 16 tahun dan 8 tahun, sangat kagum pada dunia anak bungsunya, Tommy. Ia begitu spontan, ceria, penuh eksperimen, dan banyak canda. Lestari sering menikmati kegembiraan anaknya itu.

Kadang timbul keinginan Lestari untuk menggoda Tommy berbarengan dengan rasa ingin tahunya mengenai perasaan si anak. “Enak ya… jadi Tommy? Bisa asyik bermain dan ketawa-ketawa terus?”

Itu kalimat yang tak jarang dilontarkan Lestari kepada Tommy. Biasanya Tommy akan menjawab dengan lucu, “Iya dong. Ibu mau jadi Tommy? Boleh! Nanti Ibu …,” dan seterusnya.

Lestari berpikir, Tommy selalu ceria karena segala kebutuhannya terpuaskan: kasih sayang, rasa aman, makanan kesukaan, mainan, dan sebagainya. Kepuasan mengembang di hati Lestari. Ia membayangkan anaknya akan terus tumbuh sehat dan bebas tekanan karena ia dan suami mengerti dan selalu memenuhi kebutuhan anaknya.

Tekanan psikologis mungkin dialami beberapa anak tertentu, tapi bukan pada anaknya. Dia cenderung berpikir, anak-anak sekarang memang lebih beruntung: bukan zamannya lagi orangtua otoriter seperti dulu sehingga anak bebas stres.

Perubahan keadaan
Meski demikian, ternyata keadaan tidak berjalan seperti dibayangkan Lestari. Suatu saat, hampir satu bulan Tommy kehilangan nafsu makan. Usaha pun sudah dilakukan. Tommy selalu dibujuk dengan makanan-makanan kesukaan serta diberi vitamin dan penambah nafsu makan. Namun, tetap tidak ada hasil.

Tommy menjadi sangat kurus dan tampak pucat bila pulang sekolah. Prestasi sekolahnya sangat menyedihkan: turun hingga di bawah rata-rata kelas. Lestari berpikir, mungkin pokok persoalannya adalah penambahan jam belajar di sekolah (di kelas 3 SD ini lebih dari 6 jam, setelah sebelumnya hanya belajar tidak lebih dari 3 jam), ditambah perjalanan ke dan dari sekolah cukup jauh, mengakibatkan kekacauan jam makan.

Setelah lebih jauh menyimak perubahan pada Tommy, Lestari menemukan bahwa si anak yang sebenarnya cenderung manja kepadanya menjadi lebih mudah marah kepada ibunya. Keadaan semakin jelas ketika beberapa kali menjelang tidur Tommy gelisah dan menanyakan ayahnya yang sudah hampir dua minggu di luar kota. Lestari sendiri sudah lebih dari sebulan di luar kota selama dua hari dalam seminggu untuk urusan studi, di samping tetap sibuk dengan pekerjaannya.

Rupanya Tommy banyak kehilangan kesempatan merasakan nyamannya keluarga berkumpul secara utuh yang sebelumnya selalu ia rasakan. Terlebih semua itu terjadi setelah berturut-turut ia juga kehilangan dua burung kesayangannya: si burung hantu mati dan si betet terbang setelah diganggu temannya.

Kedua peristiwa itu sangat menyentuh perasaan Tommy. Ia berurai air mata menangisi dua peristiwa itu dengan wajah disembunyikan, tidak ingin diketahui orang lain. Dalam percakapan, tampak ia tetap lekat dengan burung itu.

Kekecewaan itu tak terobati selama ayahnya di luar kota. Sang ayahlah yang menanamkan kesayangannya kepada binatang. Ia tak dapat berharap dari ibunya, yang kurang peduli kepada binatang peliharaan, untuk mendapatkan burung pengganti sehingga ia cenderung marah kepada ibunya. Ibu yang merupakan sumber kelekatan akhirnya sekaligus menjadi “sumber” kemarahannya.

Akhirnya Lestari memahami situasi yang dihadapi anaknya. Ternyata anaknya mengalami stres akibat berbagai perubahan, di sekolah dan di rumah. Sungguh hal yang tak terbayang sebelumnya.

Mengenal stres
Stres merupakan respons terhadap berbagai faktor atau situasi yang menciptakan emosi negatif, perubahan fisik, juga kombinasi perubahan fisik dan emosi. Ini merupakan kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat dialami baik oleh orang dewasa maupun anak-anak.

Dalam keadaan tertentu, stres justru dapat menjadi motivator. Misalnya, ketika takut gagal ujian, kita justru terdorong untuk belajar secara maksimal. Namun, stres yang berat bagaimanapun akan mengganggu kehidupan, aktivitas, dan kesehatan.

Semua orang memiliki respons alami terhadap stres yang merupakan bentuk pertahanan hidup (survival). Anak-anak juga memiliki cara tersendiri dalam menghadapi stres. Mereka belajar merespons stres dengan pengalaman dan hasil pengamatannya. Ada yang menjadi agresif, ada yang berperilaku serampangan, ada pula yang menarik diri dari pergaulan.

Penyebab dan gejala
Stres pada anak sering kali disebabkan hal-hal yang dianggap sepele oleh orangtua. Lestari, misalnya, menganggap kehilangan burung hanya soal kecil. Demikian pula kepergian orangtua untuk bertugas, rasanya hal biasa, bisa diganti dengan komunikasi via telepon, toh masih ada kakak, kakek-nenek, dan pembantu. Ternyata ini merupakan persoalan besar bagi Tommy, yang meskipun bisa ceria, memiliki perasaan sensitif.

Respons anak-anak terhadap situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan bagi anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain. Meski demikian, stres pada anak biasanya disebabkan oleh:
- Situasi baru yang terasa asing atau tak terduga.
- Harapan-harapan yang tidak pasti terpenuhinya.
- Antisipasi terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan (sakit dan sebagainya).
- Ketakutan akan gagal (prestasi belajar ataupun dalam pergaulan).
- Memasuki tahap penting dalam kehidupan (meninggalkan TK masuk SD, dan sebagainya).

Ketika mengalami stres, anak-anak mungkin tidak mengetahui dirinya mengalami stres. Oleh sebab itu, orangtua diharapkan waspada terhadap kemungkinan anak-anaknya mengalami stres serius, yang dapat dikenali dari gejala-gejala seperti:

- Gejala fisik: sakit kepala, sakit perut atau mulas-mulas, gangguan tidur, mimpi buruk, mengompol, bicara gagap, hilangnya nafsu makan atau perubahan lain dalam kebiasaan makan, dan gejala fisik lain tanpa sakit fisik.

- Gejala emosional atau perilaku: cemas, gelisah, tidak bisa rileks, takut sesuatu (takut gelap, takut sendirian, takut orang asing, dan sebagainya), gangguan konsentrasi belajar, menempel terus pada orangtua atau pengganti orangtua, marah, menangis, rewel, tidak dapat mengendalikan emosi, perilaku agresif, keras kepala, regresi (kembali berperilaku seperti masa kecil), tidak berkeinginan untuk berpartisipasi dalam aktivitas keluarga atau sekolah. @

MM Nilam Widyarini

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun