Monday, October 31, 2011

Menyimak Pola Asuh Anak di Negara Lain

KOMPAS.com — Setiap bangsa punya cara unik dan khas dalam hal pengasuhan anak karena memang pola asuh anak erat kaitannya dengan budaya setempat. Psikolog sosial Susan Newman, PhD, penulis buku The Case for the Only Child, mengatakan, setiap pola asuh yang dipengaruhi oleh budaya masing-masing bangsa punya sisi positif dan negatif.

Orangtua berkebangsaan China yang membesarkan anaknya di Amerika, bagaimanapun, akan dipengaruhi latar belakang budaya masyarakat China. Sebuah esai di Wall Street Journal menuliskan pola pengasuhan keluarga China cenderung keras tetapi tetap menunjukkan cintanya. Mentalitas masyarakat China yang pantang menyerah juga terlihat dalam pola asuh. Penulis esai tersebut mengatakan, orangtua tidak akan sungkan memberikan hukuman jika anaknya mendapatkan nilai A minus. Mereka cenderung menggembleng anak-anak dengan keras. Tujuannya agar anak berusaha sekuat tenaga mencapai hasil maksimal. Saat anak menunjukkan sikap tidak menghargai orangtua, anak-anak harus bersiap menerima omelan atau kritik tajam dari orangtuanya.
Ini adalah mentalitas masyarakat China yang diterapkan dalam pola asuh anak di mana pun mereka berada. Berbeda lagi dengan pola asuh keluarga di Amerika yang dikenal sangat terbuka. Tentunya setiap keluarga punya hak prerogatif untuk memberlakukan pola asuh terhadap anak. Namun, tidak ada salahnya mengenali baik-buruknya pola asuh sebagai pembelajaran.

Sebagai contoh, pola asuh di keluarga Amerika terbagi menjadi tiga kategori permisif, kekuasaan, menuntut perhatian. Masing-masing pola asuh ini punya sisi positif dan negatif. Namun, masih ada cara untuk menyeimbangkan kedua sisi ini.

Bersikap permisif
Positifnya, sikap permisif dalam merawat anak menumbuhkan penghargaan atas diri sehingga bisa membentuk rasa percaya diri anak. Anak menjadi lebih berani mencoba hal baru.

"Orangtua biasanya terlibat dalam diskusi terutama saat anak sedang berargumentasi mengenai suatu hal," kata Newman menggambarkan bagaimana orangtua bersikap permisif terhadap anak-anaknya. Membangun komunikasi terbuka justru membuat anak tahu mana yang baik dan benar, dan tidak menerka dengan pikirannya saja.

Negatifnya, orangtua cenderung sulit bilang tidak kepada anak-anak. "Orangtua di Amerika secara membudaya tak bisa bilang tidak," kata Newman. Hal ini tentunya tidak terjadi pada semua orangtua dengan pola asuh ala Amerika. Namun, sebagian besar dari mereka mengalami hal ini.

Sikap permisif membuat orangtua menjadi defensif dalam rangka melindungi anaknya. Saat anak gagal dalam tes di sekolah, sangat mudah bagi orangtua menyalahkan pihak lain, menyalahkan guru yang tidak berkualitas atau menganggap hasil tes tidak adil. Orangtua tidak menyadari bahwa anak perlu mengalami kegagalan untuk tahu caranya belajar menjadi sukses.

Solusinya, menurut Newman, tidak salah bersikap permisif, tetapi batasi pada situasi tertentu saja. Karena jika tidak, anak-anak akan memanfaatkan kesempatan untuk mengelabui Anda dengan sikap permisif tersebut. Tambahkan sikap permisif dengan memberikan motivasi kepada anak. Newman mencontohkan, tanyakan anak ada mengenai etos kerjanya, dan apa yang mendorongnya melakukan sesuatu. Anak juga memerlukan arahan tegas dari Anda.

Menunjukkan orangtua berkuasa
Positifnya, orangtua bisa memosisikan diri sebagai pihak yang patut didengar dan dihargai. Dengan menunjukkan siapa yang berkuasa, Anda sedang mengajarkan anak bahwa orangtua berkuasa dan bisa menolak, memerintah, bilang tidak atas permintaan yang berlebihan, termasuk juga mendapatkan penghargaan dari anak-anak.

Negatifnya, tidak semua anak bisa memiliki kemampuan dan kekuatan dalam menerima sikap orangtua yang tegas, kata Newman. Anda bisa memarahi dan bersikap tegas kepada anak untuk menunjukkan orangtua berkuasa. Namun, hanya lakukan sikap seperti ini saat memang anak sudah melampaui batas.

Solusinya, kenali lebih jauh karakter anak Anda. Sayangnya, banyak orangtua menyepelekan hal ini, kata Newman. Orangtua perlu mengenali mengapa anak malas, bukan lantas langsung memarahinya sesuka hati. Anda bisa bersikap keras dan tegas saat mengetahui anak-anak tidak menunjukkan usahanya untuk lebih baik lagi. Namun, Anda juga perlu memberikan dukungan dan motivasi saat anak-anak kesulitan menjalani sesuatu dengan hasil maksimal.

Bersikap menuntut dan terlalu berharap
Positifnya, menggantungkan harapan atau bahkan tuntutan kepada anak untuk memenuhi keinginan Anda boleh jadi membuahkan hasil maksimal. Namun, ini terjadi hanya jika anak merespons gaya pengasuhan seperti ini dengan positif. Umumnya, pola pengasuhan yang terlalu banyak menuntut anak ini menimbulkan masalah orangtua-anak, kata Newman.

Negatifnya, sikap orangtua yang terlalu menuntut anak, menggantungkan semua harapan kepada anak, hanya akan berujung pada masalah. Saat anak gagal dan tidak mampu memenuhi harapan orangtua, mereka yang berbudaya Timur akan marah dan memberikan sebutan tak mengenakkan kepada anaknya, seperti anak tak berguna, sampah. Lain lagi dengan orangtua dari budaya Barat. Mereka cenderung akan bersikap kasar yang sifatnya kekerasan fisik, seperti memukul, kata Newman.

Solusinya, orangtua perlu membangun kembali pola pikirnya. Caranya, menyeimbangkan ketegasan dengan kelembutan hati. Orangtua perlu tahu kapan harus bersikap lembut, tetapi berani bilang tidak, bersikap tegas, dengan tetap mengenali kebutuhan dan kemampuan anak menjalani berbagai tuntutan dalam dirinya.

Sumber :SELF

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun