JAKARTA, KOMPAS.com — Pola menonton televisi anak secara umum masih buruk karena konsumsi yang tinggi, yakni 4-5 jam sehari atau 30-35 jam seminggu. Bahkan, anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi dibandingkan dengan di sekolah.
Demikian dikemukakan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Nina Mutmainnah Armando dalam diskusi Bijak Menyikapi Media bagi Buah Hati di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (17/7). ”Padahal, sebenarnya anak hanya boleh menonton televisi paling lama dua jam per hari,” ujarnya.
Nina menambahkan, anak-anak menonton segala acara di televisi, termasuk tayangan untuk orang dewasa.
Psikolog anak, Rose Mini, mengatakan, anak sangat mudah terpengaruh media audio dan visual karena stimulus yang lebih intens dan lebih menarik bagi anak. Melalui media, pola pikir anak cenderung konkret, apa yang dilihat dianggap benar sehingga anak dikhawatirkan akan meniru mentah-mentah apa yang disajikan televisi.
Alangkah baiknya, menurut Rose, jika orangtua melakukan ”diet media” kepada anak. Bagi anak usia 0-2 tahun sebaiknya tidak menonton media apa pun, sedangkan anak usia lebih dari 2 tahun harus dibatasi menonton televisi.
Nina menambahkan, anak rentan karena belum kritis berpikir dan cenderung meniru. Anak akan menyerap tawaran dari media karena ia belum memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. ”Anak ’lari’ ke media karena tidak ada yang dilakukan,” ujarnya.
Bukan sahabat anak
Secara terpisah, psikolog anak, Seto Mulyadi, mengatakan, televisi sebenarnya bukanlah sahabat yang baik untuk anak-anak. Namun, karena tidak ada kegiatan lain yang diarahkan orangtua, anak dengan sangat gampang memilih televisi sebagai ”sahabat”. ”Sejak pagi buta hingga malam, anak-anak ditemani oleh tayangan-tayangan yang tidak mendidik, tetapi terkadang membuat anak-anak larut dan terlena,” kata Seto Mulyadi.
Ia menambahkan, televisi ternyata membawa pengaruh negatif yang jauh lebih besar daripada positifnya. ”Program infotainment dan reality show pun tak luput jadi tontonan anak-anak dan remaja,” ujarnya.
Seto, yang baru kembali dari Swedia mengikuti pertemuan yang membahas media dan anak-anak, menjelaskan, media tanpa sadar cenderung merusak anak-anak. Seksualitas, kekerasan, mistik, dan gosip yang bertebaran di televisi telah merusak anak dan tak mencerdaskan anak.
Menurut Seto, harus ada unsur idealisme dari pengelola media televisi dalam membuat program yang bisa membuat bangsa ini maju. Pertelevisian di Indonesia perlu merancang program-program yang mencerdaskan dan ramah kepada anak.
0 comments:
Post a Comment
sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun