Thursday, December 8, 2011

Pengakuan Hak Asasi Manusia Ala Khalifah Umar



SUATU hari di Mesir berlangsung pacuan kuda. Pesertanya sangat beragam. Mulai dari kalangan alit hingga kelompok elite. Muhammad bin Amr bin Ash adalah peserta dari lapisan masyarakat yang disebut terakhir. Ia sangat menginginkan agar kudanya menjadi pemenang.

Namun, harapan itu pupus karena pemenangnya justru kuda seorang Qibti (penduduk asli Mesir). Muhammad bin Amr, yang notabene putra gubernur saat itu, tidak suka menjadi pecundang. Tidak mengherankan kalau ia marah besar. Ia memukul pemilik kuda jang menjadi pemenang itu, seraya berkata, "Ini hadiah dariku. Rasakan! Aku adalah anak orang mulia!"

Peristiwa itu diketahui sang ayah, Amr bin Ash. Ayahnya sangat khawatir kalau-kalau kejadian itu diketahui Khalifah Umar bin Khathab. Kemudian orang Qibti itu ditahan dalam penjara. Beruntung, entah bagaimana caranya, yang bersangkutan dapat meloloskan diri dan berhasil menghadap khalifah di Madinah.

Kepada khalifah, ia mengadukan nasib yang menimpa dirinya. Respons Umar kala itu, menurut Anas bin Malik, hanya berkata, "Diamlah di sini!"

Umar lantas mengirim surat panggilan kepada Amr bin Ash, agar segera datang ke Madinah dengan membawa serta anaknya yang bernama Muhammad itu. Selang beberapa waktu, Gubernur Mesir itu pun sudah berada di Ibu Kota Negara, lengkap dengan anaknya. Tidak lama kemudian, mereka segera dihadapkan ke sidang pengadilan, yang langsung dipimpin khalifah sendiri.

Setelah segala persyaratan persidangan dianggap cukup, kemudian Umar berseru, "Mana orang Qibti itu? Mari kesini!" Setelah orang itu dihadapkan ke persidangan, Umar memerintahkan kepadanya agar memukul "anak orang mulia" itu. Orang Mesir itu lantas memukul anak Amr bin Ash berkali-kali, sehingga wajahnya menampakkan perasaan sakit yang sangat

Berikutnya Umar menyuruh orang itu agar memukul pula ayahnya. Amr bin Ash. Sebab, menurut dia, tidak mungkin anak itu berlagak arogan seperti itu jika tidak bersandar pada kekuasaan ayahnya.

Amr bin Ash terang saja ketakutan. Karena demikian halnya, ia mengiba penuh harap agar sanksi itu dicukupkan dengan menghukum anaknya saja. Harapan Amr sesuai puladengan sikap yang diambil warga Mesir yang menjadi korban. Seraya meminta maaf, orang Qibti yang beperkara itu pun menolak perintah Umar. Alasannya, karena ia telah merasa cukup dengan membalas orang yang memukul dirinya.

Merespons sikap orang itu, 1 Umar berkata, "Demi Allah. Sekiranya kamu ingin memukul ayah "orang mulia" itu, kami tidak akan menghalanginya, melainkan kamu sendiri yang tidak mau memukulnya."

Setelah itu, Umar kemudian berkata, yang kini ditujukan kepada Amr bin Ash sendiri. Mata ta abbadtwn al-nas wa qad waladat hum ummahatuhum ahrara (Sejak kapan wahai Amr engkau memperbudakmanusia. Padahal sesungguhnya ibu mereka telah melahir-kannya dalam keadaan merdeka).

Ucapan Umar itu merupakan pengakuan akan hak-hak asasi manusia (HAM), yang baru didengungkan masyarakat Barat (baca Eropa) setelah Revolusi Prancis. Pascarevolusi yang terkenal itu, bahkan dunia menyaksikan ironi. Temyata deklarasi kebebasan yang didengungkan masyarakat Eropa pada saat itu, sekadar untuk kebebasan dirinya, bukan untuk orang lain. Sebab, imperialisme yang menginjak-injak hak asasi masyarakat dunia, justru terjadi setelah mereka menghirup udara bebas dari kekuasaan raja-raja Eropa yang berkuasa secara absolut***

Oleh A. HAJAR SANUSI
Penulis, peserta Program Doktor UINSGD Bandung.

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun