Thursday, December 8, 2011

Tentang Lonceng dan Menara



KETIKA menaklukkan Yerusalem pada 635 M. Khalifah Umar bin Khattab menolak untuk melakukan sholat d( Gereja Makam Suci, sekalipun dipersilakan oleh Uskup Sophronius, lantaran khawatir kalau para pengikutnya di belakang hari menjadikan preseden itu sebagai dalih untuk mengubah tempat Ibadah itu menjadi sebuah masjid yang berarti merampas hak orang-orang Kristen untuk secara bebas mengamalkan agama mereka.

Walau 1.400 tahun telah berlalu, orang-orang zaman dulu kadang lebih beradat) dan lebih toleran dari orang-orang yang hidup di zaman modern, di mana kemarahan dan ketegangan tampak telah berbuah pada kembalinya fanatisisme dan intoleransi agama.

Teladan yang diberikan Umar, pen-fetus dhimmi yang menjamin perlindungan warga non-Muslim di bawah hukum Islam, merupakan simbol kesepakatan yang menjamin hak-hak hidup para Ahli Kitab (orang Yahudi dan Nasrani) dalam masyarakat mayoritas Muslim atau negeri yang dikuasai Muslim dan hak untuk beribadah sesuai keyakinan mereka sendiri Dapatkan kila membayangkan Yerusalem, Aleppo, Kairo, Baghdad, Damaskus, Tunis, Algier, Casablanca tanpa keraiuang dari menara gereja, menara masjtd. dan kadang kubah sinagog yang menjulang ke langit bagaikan anak tangga yang memandu doa-doa orang beriman menjangkau Tuhan mereka?

Timur Tengah yang kompleks pada era silam sebenarnya menyuguhkan pelajaran sederhana untuk masa kini, sebuah pelajaran yang kadang sulit diikuti tenggelam dalam kontradiksi dan upaya menuju keseragaman agama.Situasi inilah yang tercermin di Swiss pada 29 November lalu dengan disahkannya undang-undang yang melarang pembangunan menara masjid di Swiss, yang berisiko mendorong penolakan-penolakan yang lain" dan mengancam hak un(uk untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing.

Kejadian ini bisa jadi sesuatu yang sepele atau justru malah menjadi hal yang tragis. Sulit untuk memahami bagaimana Swiss, sebuah negara yang bangga akan kenelralannya selama berabad-abad, merasa bahwa eksistensi dan budayanya terancam oleh pembangunan menara masjid.

Terlepas dari /aktor-Jaktor yang mengilhami referendum yang memunculkan undang-undang tersebut, banyak orang merasa hasilnya merupakan ungkapan penolakan terhadap Islam dan hak umat Muslim untuk menjalankan ibadah secara bebas di manapun mereka tinggal.Namun, referendum di Swiss tersebut tak hanya berdampak pada Muslim", meskipun mereka yang menjadi korban utamanya. Referendum inijuga berisiko melembagakan apa yang disebut "benturan peradaioan". membiarkan warga negara, atau perwakilan terpilih mereka, untuk memaksakan gaya hidup dan pola pikir sebagai sebuah peran atau fungsi dari mayoritas demografis terhadap seluruh penduduk.

Dengan penalaran semacam ini, pelarangan terhadap pembangunan menara masjtd di negara-negara mayoritas non-Muslim bisa juga diterapkan pada pembangunan gereja atau sinagog di negara-negara mayoritas Muslim. Jika demikian adanya, yang terjadi kemudian adalah upaya penyeragaman etnis dan agama, dan melihat agama, sebagai monolitik yang berisiko membangkitkan konsep pascareformasi tentang satu umat, satu negara, satu agama, di mana agama penguasa menjadi agama negara.

Penerapan prinsip ini secara absur-diah yang telah menjadi penyebab hilangnya sebuah era di Spanyol yang sempat dikenal dengan liga agamanya, yaitu ketika orang-orang Yahudi dan Morisko (Muslim yang dipaksa untuk masuk Kristen dan diduga melakukannya hanya dalam mengganti nama) diasingkanpada masa Renaissance sebuah kebijakan yang berakibat pada pemiskinan spiritual dan material di Semananjung Iberia.

Prinsip serupa mengilhami banyak rezim totaliter pada zaman modern, untuk menyingkirkan setiap unsur spiritual yang dianggap mengancam kekuasaan mereka. Prinsip yang sama kembali diberlakukan di masa kini di banyak kawasan di dunia dimana menjadi bagian dari kelompok minoritas berarti mengalami ketidaksetaraan.

Mereka yang menolak pembangunan menara masjid di Swiss tidak menyadari bahwa di masa mendatang mereka bisa saja dipandang seperti mereka yang membakar sinagog atau merusak gereja di kawasan yang dikenal sebagai kawasan Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) atau di (empat lain. Patut diingat bahwa di manapun dan kapanpun sebuah komunitas terancam, entah itu orang Yahudi, Kristen, Islam, agnostic ataupun ateis. yang lain bisa juga terancam.

Roda sudah berputar dan dapat menimbulkan dampak yang buruk kecuali jika kita menegaskan kembali bahwa martabat semua umat manusia, dan hak bagi setiap orang beriman untuk beribadah kepada Tuhannya seperti yang ia kehendaki, tidak bisa dibatasi oleh izin membangun suatu bangunan.

Menara-menara masjid di Jenewa sama bernilainya dengan lonceng-lon-ceng gereja di Basel. Kini saatnya bagi kita semua mencam-kan hal ini. (Rene Guitton, penulis, esais, dan anggota Alliance of Civilizations. Baru-baru ini ia dianugerahi Human Rights Prize 2009. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Group/ CGNews)
Oleh Rene Guitton

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun