Thursday, December 8, 2011
Sang Pemimpin Besar Mengakui Kesalahannya
PADA masa Khalifah Umar ibn al-Khathab, mas kawin (mahar) yang harus dibayar suami kepada istrinya terbilang mahal. Bagi kaum berada memang bukan masalah, tetapi tidak demikian halnya buat kalangan yang tidak punya. Tingginya kewajiban membayar mas kawin terang saja menjadi salah satu penghambat keinginan sebagian masyarakat untuk membangun rumah tangga.
Oleh karena itu, Khalifah Umar segera memutar otak mencari alternatif pemecahan. Ia akhirnya menemukan solusi untuk masalah tersebut. Negara, demikian menurutnya, harus menentukan jumlah maksimal pemberian mahar. Tidak sekadar itu, Khalifah Umar pun membuat ketentuan tambahan, yaitu dari jumlah mas kawin yang dibayarkan suami akan diambil petugas negara sebesar 25 dirharn untuk kemudian dimasukkan ke dalam baitul mal.
Khalifah Umar lantas mengumumkan peraturan tersebut di dalam masjid, di hadapan orang banyak, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang menarik untuk dicatat adalah ketika Khalifah Umar selesai berbicara kemudian turun dari mimbar, seorang perempuan berdiri tegak dan mengajukan protes.
Dengan suara lantang perempuan itu berkata "Laysa laka hadza, ya Umar (Anda tidak berhak melakukan hal ini, wahai Umar).
Keruan saja Khalifah Umar terkejut. Kemudian ia ber-tanya, "Memangnya kenapa?" Perempuan itu menjawab, "Sebab Allah SWT telah berfirman dalam Alquran, yang berbunyi (seraya membacakan QS. Al-Nisa/4 20). Berikut adalah terjemahan ayat yang dijadikan alasan ketidaksetujuan perempuan tersebut
"Dan apabila kamu mau mengganti istrimu dengan istri yang lain (maksudnya menceraikan), sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, janganlah kamu mengambilnya kembali daripadanya walaupun sedikit. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?
Setelah perempuan itu tamat membacakan ayat tersebut, Khalifah Umar yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama, kembali naik mimbar. Apakah tindakan Khalifah itu lantaran mau menghardik perempuan pemrotes itu karena dianggapnya telah berkata terlalu lancang?
Temyata tidak! Alih-alih marah, justru naik mimbar kali ini Khalifah Umar ingin mengakui kekeliruan dirinya sehingga kemudian kebijakanyang baru saja diumumkannya itu dinyatakan batal karena hukum.
Dalam kesempatan itu, Khalifah Umar berkata "Asha-bat imraah wa akhthaa Umar (Perempuan itu benar dan Umar telah keliru).
Sungguh mengagumkan. Seorang penguasa sekaliber Umar bersedia, bahkan tidak merasa kehilangan muka untuk menarik kembali kebi-jakan yang baru saja dibuat, seandainya yang demikian itu bertentangan dengan kebenaran.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, maukah kita berjiwa besar untuk mengakui kekeliruan diri seperti telah diteladankan Khalifah Umar ketika, misalnya, pendapat kita bertentangan dengan kebenaran?***
Oleh A. HAJAR SANUSI
" Penulis, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kecamatan Kiaracondong, peserta Program Doktor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Labels:
kisah-kisah,
umar
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun