Wednesday, December 7, 2011

Penurut di Rumah, Pembangkang di Sekolah

KOMPAS.com - Beda perilaku di rumah, beda pula di sekolah. Ya, mungkin ada beberapa orangtua yang heran demi merasakan perbedaan perilaku buah hatinya. Di rumah bersikap manis bak "malaikat cilik", tapi di sekolah seperti "setan kecil" yang kerap berbuat onar. Atau sebaliknya, di sekolah anak tampil sebagai sosok penurut, tapi di rumah berubah jadi pembangkang.

Mengapa itu terjadi? Ada beragam penyebab. Salah satunya, si prasekolah baru saja memasuki masa transisi antara kehidupan di sekolah dan di rumah. Sebelumnya ketika di rumah, ia hanya bersosialisasi dengan orang-orang terdekat dalam lingkungannya seperti kakak, nenek, ayah, ibu, kakak, adik atau pengasuhnya.

Sedangkan ketika memasuki lingkungan sekolah, dia harus bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih luas: guru, teman-teman, tukang kebun, dan orangtua teman-temannya.Selain itu, pada rentang usia 3-5 tahun, menurut Piaget, perilaku anak masih egosentris.

Maksudnya, anak belum memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Segala sesuatunya masih terpusat pada dirinya sendiri. Jadi, ketika ia melakukan suatu tindakan atau perbuatan, dia tidak mempertimbangkan kepentingan orang lain.

Ketika ingin melihat pita milik temannya yang dirasa menarik, ia segera menarik pita tersebut. Dia tidak memikirkan, perilakunya itu dapat merugikan orang lain karena dapat merusak tatanan rambutnya.

Bisa juga, perilakunya itu dikarenakan anak ingin mencari perhatian, utamanya dari orang-orang yang ada di lingkungannya, baik lingkungan rumah ataupun sekolah. Ketika di rumah, si kecil dapat dengan mudah memperoleh perhatian, bahkan mungkin selalu menjadi pusat perhatian karena jumlah anggota keluarganya tidak banyak.

Berbeda ketika ia berada di sekolah, dimana 2 orang guru harus memberikan perhatian kepada kurang lebih 10-15 anak didik dalam satu kelas. Otomatis porsi perhatian yang diperoleh si kecil pun menjadi lebih sedikit. Kondisi inilah yang akhirnya menjadi pemicu si kecil "berulah", sekadar untuk mencari perhatian dari temai atau gurunya ketika di sekolah.

Bisa juga sebaliknya, anak sudah merasa mendapat perhatian ketika berada di lingkungan sekolah, namun tidak mendapat perhatian dari lingkungan rumah. Akibatnya, anak pun "berulah" agar orang-orang terdekat yang ada di rumah memberi perhatian. Akhirnya muncul anggapan, si prasekolah anak yang "penurut" di sekolah tapi "nakal" ketika di rumah.

Sebab lain, bisa jadi ia belum memahami aturan dan etika yang berlaku dalam lingkungan yang baru dimasuki. Maksudnya, aturan di sekolah tentunya berbeda dengan aturan di rumah. Ketika di rumah mungkin orangtua terlalu permisif, anak diperkenankan menggunakan barang bukan miliknya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Aturan ini, tentunya tidak dapat diterapkan ketika di sekolah. Demikian pula sebaliknya, sehingga anak pun bersikap semaunya sendiri.

Jembatan Komunikasi
Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah membangun jembatan komunikasi antara pihak sekolah, orangtua dan anak. Orangtua menjelaskan tentang aturan-aturan yang biasa diterapkan di rumah, perilaku-perilaku yang biasa dilakukan, dan sebagainya. Pihak sekolah juga hendaknya secara rutin memberikan informasi tentang perkembangan proses belajar, kegiatan siswa ataupun kenakalan yang dilakukan anak di sekolah.

Dengan begitu, baik orangtua maupun guru dapat mengetahui dan segera melakukan antisipasi/mencari solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi anak. Demikian pula sebaliknya, bila orangtua mengetahui atau menemukan perilaku atau proses tumbuh kembang yang "salah" di rumah, mereka dapat segera menginformasikan kepada pihak sekolah. Siapa tahu bukan anaknya yang salah, tapi pola asuh, disiplin, atau penyebab lainnya yang menjadi pemicu.

Bila jembatan komunikasi ini terbentuk dengan baik, maka kedua belah pihak dapat saling bekerja sama untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Jembatan komunikasi ini sebaiknya juga diciptakan bersama anak. Ciptakan komunikasi yang harmonis antara anak dengan orangtua, juga sekolah dengan anak.

Melalui komunikasi yang baik, pihak sekolah maupun orangtua dapat mengetahui keinginan anak, hambatan, dan sebagainya, sehingga penyelesaian permasalahan yang dihadapi dapat lebih mudah dan tuntas.

Tidak sulit kok, berkomunikasi dengan anak. Lakukan dalam suasana yang akrab dan ciptakan obrolan yang santai, jangan bernada menyelidik. Mengobrol juga sekaligus dapat bermanfaat sebagai media untuk meluapkan emosi, sekaligus mengetahui penyebab ulah anak dan menyikapinya. Dengan cara itu, diharapkan perilaku negatif anak dapat diredam.

Contoh dari Orangtua
Orangtua dan orang-orang terdekat anak hendaknya dapat menjadi model yang baik. Ingat, pada rentang usia ini, anak masih meniru, sesuai dengan perkembangan kognitifnya yang masih praoperasional.

Selain itu, pastikan orangtua menerapkan aturan dan nilai-nilai positif di rumah. Orangtua juga perlu mencari tahu dari anak, aturan apa sajakah yang tidak dipahami, juga aturan apa saja yang berbeda. Selanjutnya, berikan penjelasan tentang perbedaan itu dengan bahasa yang sederhana.

(Nakita/Utami Sri Rahayu)
Narasumber: Dewi Romadhona, Psi., psikolog Bina Perlindungan Anak Indonesia

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun