Thursday, December 8, 2011

Dja'far Shodiq: Sunan yang Ramah dan Toleran

Kudus adalah kota kecil, terletak kira-kira lima puluh kilometer dari ibukota Jawa Tengah, Semarang. Kota itu punya banyak sebutan. Di antaranya adalah Kota Kretek. Karena di kota itu, industri rokok tumbuh pesat. Kota itu juga acapkali disebut Kota Niaga. Sebab, sebagian besar warganya berprofesi sebagai pedagang. Namun, lebih dari itu, Kota Kudus adalah kota sarat makna. Kudus teramat istimewa. Karena, dialah satu-satunya nama daerah di Indonesia yang berbahasa Arab.

Namun, Kudus bukanlah sekadar kata Arab tanpa makna. Ia terkait dengan cerita yang sampai kini melegenda. Cerita itu bermula ketika seseorang dari Indonesia menunaikan ibadah haji. Saat itu, Mekkah sedang diserang wabah penyakit yang sulit disembuhkan. Saking parahnya, Raja Arab Saudi sampai mengumumkan sayembara: “Barang siapa yang bisa menyembuhkan warga Mekkah akan diberi hadiah”. Sudah banyak yang mencoba, tapi selalu gagal.

Karena tertarik, orang Indonesia tadi akhirnya turut mencoba. Di depan Ka’bah, yang disebut Multazam, dipanjatkannya do’a yang khusyuk kepada Allah. Ia memohon kekuatan untuk menyembuhkan penduduk Mekkah. Allah mendengar do’a tersebut dan mengabulkannya. Warga Mekkah dan keluarga Kerajaan Arab Saudi pun sembuh dari penyakit yang mengganas itu.

Sebagai hadiahnya, Raja hendak memberikan emas dan uang. Namun, sang “penyembuh” menolak secara halus. Ia berdalih bahwa kesembuhan rakyat Mekkah karena kehendak Allah. Tapi, raja bersikeras. Walau dipaksa terus-menerus, ia tetap kukuh tidak mau menerima hadiah itu. Sampai akhirnya, ia teringat masjid yang dibangunnya nun jauh di Jawa. “Baiklah Yang Mulia,” ucapnya, “saya hanya memohon sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis di Palestina. Batu itu akan saya pasang di pengimaman masjid saya di Jawa,” katanya.

Dengan senang hati, Raja pun menuruti permintaannya. Akhirnya, batu mulia itu dibawa pulang dan diletakkan di Mihrab Masjid. Masjid itu kemudian tersohor dengan nama Masjid Kudus. Kata Kudus adalah mashdar, diambil dari kata Maqdis, bentuk Isim Makan dari Qadasa. Ia berarti suci. Daerah di sekitarnya pun kemudian disebut dengan kota Kudus.

Nah, siapa sebenarnya orang itu? Tak lain, dialah Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus. Ia putra pasangan Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Menurut cerita, Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia diangkat menjadi panglima perang.

Dja’far Shodiq memang sosok berbakat dan cerdas. Ia dikenal sebagai ulama dengan sejuta talenta. Berbagai pengetahuan dikuasasinya. Mulai dari tauhid, ushul fiqh, hadits, tafsir, sastra, mantiq (logika), dan terutama fiqh. Ia berwawasan luas. Sehingga, ia diberi gelar “Waliyyul Ilmi”. Gelar yang tidak disandang oleh para wali lain.

Ia juga seorang budayawan kreatif. Ia piawai memainkan budaya sebagai sarana dakwah. Konon, cara itu ia pelajari dari Sunan Kalijaga. Karenanya, Sunan Kudus sangat toleran pada budaya setempat sebagaimana gurunya. Bahkan, cara penyampaiannya lebih halus. Sebab itu, para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus, segera menunjuknya.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian pepatah berbahasa. Sunan Kudus pun akhirnya menjadi Senopati menggantikan ayahnya. Ia disebut-sebut sebagai panglima perang yang jago strategi. Ia pernah ditugaskan untuk menyerang Majapahit di masa pemerintahan Girindra Wardana (Brawijaya VI). Penyerangan atas Majapahit itu dilakukan karena ayahanda Raden Fatah, Prabu Kertabumi (Brawijaya V), sudah ditaklukkan oleh Girindra. Kalau tidak segera diselesaikan, nantinya akan mempersulit perkembangan Islam.

Pada perkembangan berikutnya, Majapahit runtuh. Timbul kekacauan. Namun, Sunan Kudus mampu memanfaatkan zaman peralihan. Situasi yang tidak menentu itu dipakai untuk menyebarkan Islam yang ramah dan toleran. Memang, selalu susah mengabarkan kepercayaan baru. Tapi, Sunan Dja’far Shodiq adalah orang yang cerdik. Ia tahu betul bagaimana memainkan psikologi massa. Karena kepiawaiannya memainkan budaya, Sunan Kudus tidak banyak menemukan kesulitan menebarkan Islam di Kudus. Sebab, kota itu sangat kaya akan budaya.

Berdakwah dengan (Ber)Budaya

Dalam berdakwah, Sunan Kudus nampak mengamalkan ajaran ojo nabrak tembok (jangan menambrak tembok). Artinya, tidak melawan arus, tapi mampu mewarnai arus itu. Karenanya, dalam mengenalkan Islam, Sang Sunan tidak serta merta frontal dan mengecam berbagai praktik dan tradisi keagamaan yang ada. Ia tidak menganggapnya penghalang, justru peluang yang harus dimanfaatkan.

Tiga medium budaya lokal dipakai Sunan Kudus untuk berdakwah. Pertama tentu saja bangunan arsitektur Menara. Bangunan Menara adalah kompromi dari tiga tradisi, Islam, Budha dan Hindu. Sengaja, Sunan Kudus menggunakan Menara sebagai tempat untuk berdakwah karena bentuknya yang mirip dengan bangunan candi. Apalagi, beberapa aspek yang melekat pada candi masih nampak kuat terpampang di Menara.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sultan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti ‘sapi betina’. Banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Versi lain menyebutkan, Sunan pernah mendapatkan air susu dari seekor sapi ketika dirinya sedang kehausan. Karena itu, semasa hidupnya, Sunan Kudus melarang rakyat menyakiti atau pun memotong (menyembelih) sapi.

Kedua adalah medium cerita, pujian dan tembang, baik dalam bahasa Jawa maupun Arab. Semuanya dipakai Sang Sunan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Penyampaian dengan menggunakan tembang dan pujian memang digemari penduduk sekitar. Orang Jawa dikenal sebagai orang yang suka akan lagu dan pujian. Apalagi umat Hindu. Mereka juga kerap menembang untuk memuji Tuhan. Dikaranglah riwayat-riwayat pondok yang berisi filsafat serta berjiwa agama.

Alkisah, Sunan Kudus sering kali menembang di sekitar Menara. Pada awalnya, tembangan itu dipakai untuk memanggil para murid untuk memberitahukan kedatangan bulan Ramadhan. Namun, saking indahnya tembang itu, warga sekitar tertarik dan ikut merubung rombongan Sang Sunan. Momen itu pun akhirnya dimanfaatkan untuk mengenalkan syahadat dan shalawat.

Tradisi itu terus dilakukan, dan dikenal dengan istilah Dandangan, yang sampai sekarang masih dijalankan. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.

Sunan Kudus juga piawai mencipta tembang Jawa. Tembang Maskumambang dan Mijil adalah buah karyanya. Maskumambang berkisah tentang masa pancaroba anak menuju kedewasaan yang penuh sengsara. Sedangkan Mijil mengajarkan etika dan unggah-ungguh, seperti sikap mengalah (bukan berarti kalah), mau mendengarkan yang lain, menghindari perilaku bergunjing, dan sebagainya.

Ketiga adalah wayang. Penggunaan wayang sebagai media dakwah memang menimbulkan sengketa di kalangan umat Islam. Ada yang mengatakan haram karena berbau Hindu, dan sebaliknya. Hal ini menimbulkan masalah serius. Terutama bagi mereka yang gemar wayang. Itu juga akan mengganggu jalan dakwah yang damai dan toleran.

Karena itu, untuk meminimalisir konflik, timbullah gagasan untuk mereformasi wayang. Wayang dibuat dalam bentuk baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang gemar wayang, terutama para Wali, mereka berhasil menciptakan wayang bentuk baru. Wayang itu disebut wayang Purwa. Ia dibuat dari bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring. Ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, mencapai kaki.

Pada masa berikutnya, wayang pun mengalami berbagai perubahan. Pasca wayang Purwa, muncul wayang Gedog. Ide ini diprakarsai oleh Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri. Sunan Kudus pun tak mau ketinggalan. Ia mendesain wayang Golek yang terbuat dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Konon, selama berdakwah, Sunan Kudus sering mengadakan pertunjukan wayang untuk mengumpulkan massa.

Sosok pelakunya pun banyak mengambil tokoh pewayangan. Hanya alur dan latar yang sedikit diubah. Pesan-pesan serta nilai Islam pun dipaparkan lewat adegan wayang. Nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, menghargai yang lain juga ditanamkan. Metode ini sangat efektif. Karena, saat itu pagelaran wayang adalah tontonan yang paling banyak diminati orang. Dakwah model ini terbukti mengenai sasaran, merakyat dan tidak elitis. Sebab, Sang Sunan dan rakyat adalah bagian yang saling melengkapi.

Dengan pendekatan budaya, Sunan Kudus mampu meng-Islam-kan para penganut Hindu dan Budha. Merekapun tidak merasa jengah karena sang Sunan sangat ramah. Mereka bisa ber-Islam sekaligus melaksanakan tradisi yang sudah dijalankan dari generasi ke generasi. Tentunya, kemasan tradisi itu sudah (sedikit) berubah karena pengaruh Islam. Namun, hal itu tidak mengganggu karena, di saat yang sama, mereka juga berubah, dari Hindu dan Budha menjadi muslim yang sempurna. Apa yang dilakukan Sunan Kudus adalah warisan yang sangat berharga. Selayaknya, generasi penerus meneladaninya.

***

Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil, puteri dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) di Tuban. Sunan Bonang adalah putera Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Ampel adalah putera Maulana Ibrahim as-Samarkandi. Di sinilah, bertemu silsilah Sunan Kudus dengan isterinya; Dewi Rukhil adalah cicit Maulana Ibrahim Samarkandi, sementara Sunan Kudus adalah cucu Maulana Ibrahim Samarkandi. Sunan Kudus dan Dewi Rukhil hanya memiliki anak laki-laki bernama Amir Hasan.

Satu riwayat mengatakan, dalam perkawinannya dengan puteri Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus memperoleh delapan orang anak, yaitu: Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Penembahan Kodhi, Panembahan Karimun, Panrmbahan Sujoko (wafat ketika masih muda), Ratu Pakojo dan Ratu Probobinabar (menikah dengan Pangeran Poncowati).

Sang Sunan lahir sekitar abad ke-15 dan diperkirakan wafat pada 1550 M. Jasad beliau disemayamkan di belakang Menara Kudus. Di komplek makam itu, disemayamkan juga para prajurit serta keluarga Sunan. Namun, di antara kedelapan anaknya, hanya empat orang yang kini makamnya berada di sekitar makam Sunan Kudus, yakni Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati, dan Pangeran Sujoko.

Sampai sekarang, makam Sunan Kudus banyak dikunjungi orang. Tak hanya orang Kudus, tapi juga kaum muslim yang tersebar di Nusantara. Itu wajar, karena banyak hal bisa diteladani dari Dja’far Shodiq Sang Sunan. (Khoirul Muqtafa)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 20/Thn II/2006)

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun