Thursday, December 8, 2011

Ibnu Batuta: Tekad Baja, Taklukkan Dunia

Namanya dikenal sebagai muslim penjelajah terbesar sepanjang sejarah. Minimnya transportasi tak menghalanginya untuk bertamasya dan berziarah. Meski, untuk itu, ia harus kuat dan tabah. Bayangkan, saat itu, ia telah menempuh perjalanan berjarak 75.000 mil, rekor yang tak ada duanya. Ia telah melintas batas dari jazirah Arabia hingga Asia, bahkan Eropa. Para ahli sejarah menyejajarkan namanya dengan Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake dan Magellan yang dikenal sebagai para penakluk dunia.

Dialah Ibnu Batuta. Lahir pada 24 Februari 1304 M di daerah Tangiers, Maroko, Afrika Utara. Ia masih keturunan suku Barbar di Lawata. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Abdillah al-Lawati al-Tanji. Ia besar dalam keluarga cerdik pandai. Keluarganya dikenal sebagai pemasok ahli yurisprudensi dan banyak yang menjadi Qadhi (hakim). Batuta kecil banyak belajar fikih dan sastra. Ia tekun, cerdas dan berwawasan luas.

Pada 14 Juni 1325, ia pergi meninggalkan Tangiers untuk menunaikan ibadah haji. Waktu itu, usianya baru 21 tahun. Ia menyeberangi Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya ditempuh dengan jalan kaki. Tentunya, ini rekor tersendiri. Medan yang dilalui begitu sulit. Transportasi pun berbelit. Tak banyak yang diandalkan. Tanpa tekad yang kuat, tak mungkin perjalanan itu ditempuh.

Ia tiba di Alexandria, Mesir, pada 15 April 1326. Di situ, Batuta menghadap Sultan Alexandria. Karena perjalanan yang ditempuh begitu jauh, Sultan memberinya uang untuk bekal perjalanan. Ia pergi ke Mekkah melalui Kairo, Aidhab sampai Laut Merah. Namun, rute itu banyak penyamunnya. Ia pun kembali ke Kairo dan meneruskan perjalanannya lewat Gaza, Palestina, Hamah, Aleppo serta Damaskus.

Akhirnya, ia sampai di Mekkah pada Oktober 1326. Selama menunaikan ibadah haji, ia bertemu dengan kaum muslim dari berbagai perjuru dunia. Ia melihat aneka suku yang berbeda. Beragam bahasa yang tidak sama. Serta variasi budaya yang beraneka. Hal itu cukup menakjubkannya. Ia tak puas hanya melihat sekilas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menimba pengalaman ke mancanegara. Dan, untuk itu, ia membatalkan keinginannya untuk pulang. Meski dihunjam rindu yang tak kepalang.

Bertekad Menjelajah Dunia

Mengawali penjelajahannya, ia menyeberangi gurun pasir Arabia. Sampailah ia di Persia (Irak dan Iran). Dari situ, ia sekali lagi pergi ke Damaskus, menuju Mosul dan, kembali lagi ke Mekkah. Batuta pun menunaikan ibadah haji yang kedua kali. Ia malah sempat bermukim di sana selama tiga tahun (1328-1330). Dari Mekkah, ia berlayar ke Somalia menuju pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambasa. Kemudian, ia meneruskan perjalanannya ke Oman, Hormuz (Teluk Persia) dan Pulau Dahrain. Ia pun menyempatkan diri untuk ke Mekkah dan menunaikan ibadah haji yang ketiga kali pada 1332. Istirahat sebentar, Batuta kembali mengarungi samudera melewati Laut Merah, melewati Nubia, Nil Hulu, Kairo, Syiria dan tiba di Lhadhiqiya. Sesudah itu, ia kembali berlayar menaiki kapal Genoa ke Alaya (Candelor) di pantai Selatan Asia Kecil.

Tak lama berselang, ia melanjutkan perjalanan darat di jazirah Anatolia sampai akhirnya tiba di Sanub (Sinope), sebuah pelabuhan di Laut Hitam. Lalu, ia naik sebuah kapal Yunani menuju Caffa dan menyeberangi Laut Azow sampai ke stepa-stepa di Rusia Selatan. Bahkan, konon, ia sampai di ke Istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan di Serai. Tak berhenti di situ, Batuta melanjutkan perjalanan ke utara menuju Balghar di Siberia untuk merasakan pendeknya malam musim panas dan ingin mengalami perjalanan di ‘Tanah Gelap’ (Rusia paling utara). Namun, hal ini urung karena iklim yang teramat dingin.

Ia pun kembali ke Balghar dan diminta mengawal permaisuri Sultan Uzbeg Khan, Khantun Pylon, ke Konstantinopel (Byzantium). Di sana, ia menyempatkan diri menghadap Kaisar Byzantium, Audranicas III (1328-1341). Dari Byzantium, Batuta kembali ke Serai untuk pamit kepada Uzbeg Khan. Lalu, ia menuju ke Bukhara. Terus ke Persia Utara dan Afghanistan, sampai akhirnya tiba di Kabul. Setelah itu, pria Maroko ini menyusuri sungai Sind dan tiba di Bakkar. Lalu, ia berjalan melewati kota Uja (Uch), pusat dagang di tepi Sungai Indus dan sampai di Multan. Dari Multan, ia melanjutkan perjalanan ke Delhi. Jaraknya cukup jauh dan bisa ditempuh kira-kira 40 hari perjalanan.

Sebelum tiba di Delhi, ia sempat singgah di Ajudhan (Pakpattan), sebuah kota kecil tempat mukim Syekh Fariduddin yang saleh. Ia lalu menghadap beliau. Di sini, untuk pertama kalinya ia melihat ‘Sati’. Sesampainya di Delhi, ia ditunjuk menjadi Qadhi negara oleh Sultan Muhammad Tughlaq. Ia tinggal selama delapan tahun di Delhi. Kemudian, ia dilantik oleh Sultan untuk menjadi Duta Besar di Kerajaan China. Namun kemalangan menimpanya. Dalam perjalanan, ia dirampok oleh para penyamun di Jalali dekat Aligarh. Harta dirampas, ia pun ditawan. Berkat pertolongan orang misterius, ia bebas dari hukuman dan kembali berlayar menuju Calicut. Tapi, derita kembali menerpanya. Semua barang bawaannya musnah karena kapalnya tenggelam. Sebab itu, Batuta tak kembali ke Delhi. Ia melanjutkan perjalanan ke Maladewa.

Pada 1344, ia mengunjungi Sri Lanka. Lalu, ia berlayar ke timur. Sekitar 43 hari kemudian, tibalah Batuta di Chittagong, Dacca dan Sumatra. Di Sumatra, ia tinggal selama 15 hari sebagai tamu sultan. Dari Sumatra ia kembali berlayar menuju Malaya dan mendarat di Amoy, China. Dari sini, putra Tangiers itu memutuskan membalik perjalanannya. Lewat Sumatra, Malabar, India, Oman dan Persia, menyeberangi padang pasir Palmyra, sampai di Damaskus. Dari situ, Batuta kembali bersimpuh di depan Ka’bah untuk keempat kalinya pada 1348. Pasca menunaikan haji ini, ia menyambung perjalanan melewati Yerussalem, Gaza, Kairo dan Tunisia. Lalu, ia naik perahu menuju Maroko. Ia sempat mengunjungi Dardinia dan tiba di Fez, ibu kota Maroko pada 8 November 1349.

Sebelum benar-benar menetap di Maroko, ia menjelajah lagi. Tercatat, ia melakukan perjalanan dua kali. Pertama, ia menyeberangi gurun pasir Sahara di Afrika Tengah hingga mencapai Timbuktu. Kedua, ia menyambangi Eropa, terutama Spanyol, Romawi timur serta Rusia Selatan. Ia kembali ke Fez pada 1354 dan menetap di sana.

Merenda Pengalaman Lewat Tulisan

Perjalanan panjang yang ditempuh oleh Ibnu Batuta memang mengesankan. Banyak hal ia alami. Ragam kehidupan ia selami. Diperkirakan, jarak yang ia tempuh sejauh 75.000 mil telah melampaui rekor perjalanan Marcopolo. Sepanjang kelananya, ia telah mengunjungi hampir seluruh negara muslim di tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa. Dan sering kali, Batuta bertemu dengan para pemimpin negara-negara itu. Banyak pengalaman menarik yang enak untuk disimak.

Di antaranya adalah perjalanan Batuta ke daerah Kabul, Afghanistan. Di pegunungan Hindu Kush, ia bertemu dengan seseorang yang, konon, berusia 350 tahun. Lebih aneh lagi, menurut penuturan orang itu, gigi barunya tumbuh setiap seratus tahun. Di daerah Sind, ia juga menyaksikan hal yang menakjubkan. Ia melihat seekor badak untuk pertama kalinya di sana. Ia juga bertemu dengan suku ‘Samira’ yang mendiami daerah Janani. Menurut Batuta, mereka tidak pernah makan bersama orang lain. Tidak mau pula menikah dengan orang di luar marga mereka.

Di Siwasitan, masih daerah Sind, ia juga menyaksikan pemandangan unik. Kota itu terletak di tengah gurun pasir yang luas. Tak ada tanaman yang tumbuh di sana kecuali labu. Makanan penduduk daerah itu adalah sorgum dan kacang polong yang dibuat roti. Di samping ikan dan susu kerbau, mereka juga makan sejenis kadal yang diawetkan dengan kurkum (sejenis kunyit). Batuta pernah mencoba memakannya. Namun, ia merasa jijik hingga urung makan.

Di Ajudhan, untuk kali pertama, Batuta menyaksikan ‘Sati’. Waktu itu, ia sedang berkunjung ke rumah Syekh Fariduddin. Tapi, tiba-tiba, banyak orang bergegas keluar. Batuta pun bertanya, ada apa gerangan. Mereka menjawab, ada seorang Hindu yang baru saja meninggal. Maka, dipersiapkanlah api untuk membakar jenazahnya. Yang mencengangkan, sang istri akan turut membakar diri bersama jenazah suaminya. Ia sempat menyaksikannya. Ia juga melihat kaum Hindu yang mandi di sungai ‘suci’ Gangga.

Perjalanannya menuju Sumatra juga memukau. Batuta bercerita, dalam perjalanan itu, ia dan kawan-kawannya merasakan laju angin yang segar. Laju angin tersebut membawa kapal yang mereka tumpangi menyeberangi lautan China. Hingga tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh angin kencang yang menggoncang kapal. Seketika, cuaca berubah gelap. Hujan pun turun lebat. Hal ini berlangsung terus menerus. Selama sepuluh hari, mereka tidak dapat melihat matahari. Kapal terus berlayar hingga memasuki sebuah lautan yang tak dikenal. Para penumpang pun resah. Mereka ingin kembali ke China. Namun, karena cuaca yang tidak bersahabat dan tersesat di daerah asing, mereka pun pasrah. Selama 42 hari, mereka terapung di atas lautan tanpa arah. Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, mereka terkejut. Ada gunung besar di depan mereka. Gunung itu berjarak 20 mil dari kapal yang mereka tumpangi.

Maka semua penumpang pun berdo’a dan memohon kepada Allah agar dijauhkan dari berbagai macam malapetaka. Ternyata, Allah mengabulkan doa mereka. Angin berhenti, perlahan tapi pasti. Suasana pun kembali tenang. Anehnya, mereka melihat gunung itu meninggi dan terbang ke angkasa. Sehingga matahari yang tadinya bersembunyi di balik gunung itu tampak kembali. Setelah diteliti, ternyata, gunung itu adalah burung al-Ruhk. ” Seandainya burung itu melihat kita, maka dia akan melahap dan memangsa kita,” tutur mereka. Akhirnya, mereka pun tiba di Sumatera setelah dua bulan terapung di atas laut yang mengerikan.

Di Sumatera, khususnya di Samudra Pasai, ia disambut oleh Amir (panglima) Daulasah, Qadhi Syarif Amir sayyir asy-Syirazi, Tajuddin al-Asbahani dan beberapa ahli fikih, atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Menurut Batuta, Sultan Mahmud adalah penganut madzhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian, pembahasan dan muzakarah keagamaan. “Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongannya biasa berkeliling kota melihat keadaan rakyatnya,” ujarnya.
Karena terpikat, Sultan Abu Enan dari Maroko meminta Batuta untuk mendiktekan perjalanannya kepada juru tulis sultan, Ibnu Jauzi, untuk ditulis. Catatan tersebut sangat rinci dan menyentuh. Hasil transkrip ini selesai pada 13 Desember 1355. Kemudian dibukukan dan diberi judul Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa Aja’ib al-Asfar (Hadiah bagi Para Pengamat yang Meneliti Keajaiban-keajaiban Kota dan Keanehan-keanehan Perjalanan). Buku ini kemudian dikenal dengan sebutan Rihlat Ibn Batuta atau Rihla (Perjalanan).

Buku ini begitu memukau banyak pengamat di seluruh dunia. Buku ini pun diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Di antaranya, bahasa Inggris, Prancis, Latin, Portugis, Jerman dan Persia. Tak heran, sebab, buku perjalanan Batuta adalah buku pengetahuan. Setiap detil cerita adalah rujukan peradaban. Meski ada sejumlah sejarawan yang meragukan kebenaran perjalanan Batuta, sebagian besar mengapresiasinya. Mereka menyebut bahwa cerita Batuta benar dan jujur meski sederhana.

Pada 1377 M, Batuta meninggal dunia. Namun, ia dikenang sepanjang masa. Selama 24 tahun mengelana, ia telah mengarungi Asia, Afrika dan Eropa. Ia adalah penjelajah terbesar sebelum mesin uap ditemukan. Ia telah menggoreskan tinta emas peradaban. Dengan tekad baja, ia menaklukkan dunia. (M. Khoirul Muqtafa)

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun