Monday, November 14, 2011

Marhaban Dinar dan Dinar

Karena dianggap kebal terhadap krisis ekonomi, sejumlah kalangan Islam mengusulkan agar dinar dan dirham dijadikan sebagai alat tukar pembayaran alternatif di samping rupiah.

Berita hangat pekan ini adalah ide untuk mengganti rupiah dengan dinar dan dirham sebagi mata uang indonesia. Dan yang paling mengejutkan adalah sikap icmi (ikatan cendekiawan indonesia), yang menjadikan isu penggantian mata uang itu sebagai agenda utama dalam silaturahmi kerja nasional, beberapa waktu lalu.

Jatuhnya nilai tukar, akibat tidak mampunya uang kertas rupiah menghadapi krisis moneter, menjadi dasar munculnya ide tersebut. ”Kami yakin, pemakaian dinar dan dirham sebagai alat transaksi akan menjadi solusi menghadapi krismon,” kata Adi Sasono, Ketua Umum ICMI.

Ide itu makin mengemuka tatkala terbetik kabar Malaysia dan Iran, dalam waktu dekat ini, juga akan menggunakan mata uang dinar dan dirham sebagai alternatif alat tukar. ”Memang banyak masukan yang kami terima soal pemakaian dinar dan dirham tersebut,” kata Edi Setiawan dari Biro Perbankan Syariah BI. Meski tidak terlalu intensif, menurut Edi, kemungkinan penggunaannya sudah dikaji oleh BI.

Pertanyaannya sekarang, apa mungkin dinar dan dirham digunakan sebagai alternatif pengganti rupiah? Lagi pula belum ada jaminan bahwa penggunaan kedua mata uang tersebut akan menjadikan segala sesuatunya lebih baik. Hanya saja fakta membuktikan, nilai tukar rupiah dari tahun ke tahun memang merosot terus. Fakta inilah, agaknya, lantas menggerakkan orang-orang semisal Adi Sasono dan Zaim Saidi (Direktur Eksekutif Public Interest Research and Advocacy Center) menggulirkan ide penggunaan dinar dan dirham sebagai pengganti uang kertas.

Harga sebonggol jagung, misalnya, di awal 70-an cuma lima perak. Tapi sekarang itu bisa lebih dari Rp 1.000. Ini berarti, selama 33 tahun harga bonggol janggung telah mengalami kenaikan 200 kali lipat. Atau, dengan perkataan lain, rupiah yang kita belanjakan nilainya telah melorot 20.000%. ”Sumber persoalannya bukan karena rupiahnya, melainkan karena sistemnya menggunakan uang kertas. Dan ini terjadi pada semua mata uang kertas,” tutur Zaim.

DOMINASI DOLAR
Zaim lalu memberi contoh nasib dolar Amerika, yang saat ini menjadi mata uang yang paling kuat di dunia. Dalam waktu yang sama, ternyata nilainya mengalami penurunan drastis. Di awal 70-an, satu troy once emas (sekitar 31 gram) harganya sekitar US$ 35 atau US$ 1,1 per gram. Tapi, pekan ini, harga emas sudah US$ 322 per troy once atau S$ 10,4 per gram. Dengan kata lain, dalam waktu tiga puluh tahun lebih, nilai dolar AS menyusut hingga 1 per 10 dibanding nilai semula.

Kecuali Zaim, agaknya tak banyak orang yang berpendapat bahwa jatuhnya nilai tukar rupiah selama ini lebih disebabkan karena penggunaan uang kertas. Umumnya masyarakat menganggap kenaikan harga gila-gilaanlah (inflasi) yang membuat rupiah tidak ada nilainya. Inflasi memang sering dianggap sebagai hantu bertangan panjang yang setiap saat mencuri uang dari para pemiliknya. ”Kita tidak menyadari muslihat uang kertas itu, tapi merasakan akibatnya,” kata Zaim.

Muslihat? Mungkin tepatnya kerugian. Soalnya uang kertas yang dikenal selama ini—yang didominasi dolar AS—dalam hitungan sebagian orang seperti Zaim, dinilai cenderung merugikan. Ambil contoh mata uang dolar Amerika. Untuk satu lembar kertas US$ 100, ongkos cetaknya hanya sekitar US$ 0,03-0,04. Dengan ongkos cetak itu, dolar bisa ditukar dengan emas, kayu, minyak, dan apa saja.

Tapi giliran orang asing ingin membeli produk AS dengan mata uang mereka, negeri yang selalu mengaku menjunjung HAM itu juga selalu menolaknya. Maka, mau tak mau, dunia pun kebanjiran mata uang dolar yang tidak terkait nilainya dengan nilai riil dari komoditi yang biasa menggunakan standar emas. ”Jadi ada dominasi penggunaan mata uang dolar. Inilah yang menyebabkan kemerosotan mata uang karena begitu banyak mata uang dicetak,” kata Adi Sasono kepada TRUST.

Dalam keadaan tertentu, ketika negara menghadapi krisis moneter, misalnya, sering kali juga terjadi pengikisan mata uang kertas. Dengan mudah pemerintah bisa melakukan secara mendadak dan drastis lewat apa yang disebut sebagai devaluasi atau sanering. Kasus ini pernah terjadi di zaman Presiden Sukarno. Ketika itu uang Rp 1.000 ”digunting” menjadi Rp 1. Uang lantas tidak ada harganya.
Penciutan nilai tukar seperti itu diyakini tak akan terulang lagi jika Indonesia memakai dinar dan dirham sebagai alternatif pengganti rupiah. Masalahnya, apa mungkin kedua mata uang tersebut menjadi mata uang resmi kedua di Indonesia? ”Ini menyangkut kepercayaan publik dan pengambil keputusan,” kata Edi Setiawan.

ALAT TUKAR
Edi bisa jadi benar. Sebab, mengganti mata uang sebuah negara tidak semudah orang membalik telapak tangannya. Paling tidak itu akan membutuhkan waktu lama sebelum bisa diterapkan. Apalagi, sebagai bagian dari negara yang memakai sistem pasar kapitalistik yang mengandalkan kekuatan neraca pembayaran, sistem nilai tukar yang dipakai Indonesia selama ini masih nilai tukar kurs mengambang. ”Penerapan dinar dan dirham memang tidak bisa serta merta. Selain masyarakat tidak siap dengan perubahan yang drastis, pasarnya juga harus disiapkan,” kata Zainul Arifin, Direktur Eksekutif Lembaga Syariah Tazkia.

Tapi apa benar pasar Indonesia memang tidak siap? Tampaknya tidak juga. Beberapa lembaga, sejauh ini, dikabarkan sudah menerapkan penggunaan dinar dalam sistem pembayarannya. Salah satunya adalah Baitul Mal wa Tanmil atau BMT Alkausar di Depok. ”Untuk membeli air mineral kelompok usaha Aa Gym, kami menghargai dengan satu dirham, begitu pula dengan produk lainnya,” kata Johny Waas, Ketua Forum Penggerak Dinar Dirham Indonesia.

Ihwal dinar dan dirham ini sejatinya juga bukan monopoli negara-negara Islam. Sejumlah negara non-Islam seperti AS, Inggris, Jerman, Swiss, Irlandia, Australia, Meksiko, Afrika Selatan, Thailand, dan India juga menggunakan dinar sebagai alat tukar. Bahkan beberapa waktu lalu, di Jerman ada kegiatan menyosialisasikan mata uang koin emas dengan cara membuat kue tar paling besar dan mereka yang tertarik membeli harus membayarnya dengan mata uang koin emas euro (golden euro).

Kelebihan dinar dan dirham, sebenarnya, terletak pada nilai intrinsiknya sesuai dengan berat masing-masing. Untuk satu dinar, berat emasnya adalah 4,25 gram dengan kadar 22 karat, sementara dirham seberat 3 gram perak. Karena terbuat dari emas dan perak, nilai tukar dinar dan dirham secara empiris memang tetap. Dalam kurun waktu sekitar 1.500 tahun, harga seekor kambing tetap dapat dibeli dengan 1-2 dinar, tergantung besar-kecilnya.

Kelebihan lain, dinar dan dirham merupakan mata uang tak berbangsa. Sebagai valas, dinar dan dirham dapat dipertukarkan secara langsung dengan valas lainnya, tanpa melalui valas ”perantara” yang selama ini mengakibatkan kerugian bertingkat akibat perbedaan harga kurs berjenjang. Sebagai alat pembayaran internasional, dinar dan dirham juga sudah terafiliasi dengan sistem jaringan (online) yang efisien dan sangat murah.

Keunggulan lainnya, dinar dan dirham ternyata juga tidak mengenal cost of money dan terbebas dari inflasi. Juga, tak pernah terdepresiasi. Di negeri mana pun, emas terbukti kalis dari segala krismon. Dan bukti tentang itu, sudah banyak.

Meksiko, yang pernah dihajar krismon pada 1995, bisa dijadikan contoh. Ketika itu, nilai emas di negeri ini naik 107% dalam waktu tiga bulan, sementara peso terbanting sampai 107%. Lalu, ketika krismon menghantam Indonesia di penghujung 1997, harga emas naik sampai 375%. Begitu juga, ketika 1998, rubel Rusia terbelit krisis, harga emas di sana naik 307% dalam waktu delapan bulan. Jadi siapkah kita membeli sebonggol jagung tetap seperti harganya tiga puluh tahun lalu?

sumber : majalahtrust.com

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun