SETELAH berlayar hampir dua jam, kapal feri reguler dari Batam akhirnya tiba di Pelabuhan Stulang Laut di Johor, Malaysia. Jam menunjukkan pukul 12.45 waktu setempat atau satu jam lebih awal dari waktu Indonesia barat saat penumpang berjalan keluar kapal dan bergegas menuju terminal kedatangan.
Setiba di ruang pemeriksaan imigrasi, sebagian penumpang langsung berdiri antre. Satu per satu maju dan menyerahkan paspor untuk diperiksa petugas, sebagaimana proses pemeriksaan standar imigrasi di negara mana pun.
Sebagian penumpang duduk di kursi tunggu. Mereka adalah tenaga kerja Indonesia (TKI). Jumlahnya 70-80 orang, yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama adalah rombongan TKI yang selama ini bekerja di Malaysia menggunakan paspor pelancong. Setiap bulan, mereka harus mengisi ”presensi formalitas” keluar-masuk Malaysia. Batam menjadi tempat persinggahan selama satu atau dua hari karena merupakan wilayah Indonesia terdekat dengan Johor.
Kelompok kedua adalah rombongan TKI yang baru berniat mencari pekerjaan. Mereka juga menggunakan paspor pelancong.
Seorang petugas imigrasi Malaysia menghampiri kedua rombongan TKI tersebut. Setelah berbicara beberapa saat, ia masuk kembali ke ruang kerjanya sembari membawa paspor para TKI.
Sebelum dan sesudah menemui rombongan TKI, petugas itu sempat berbicara dengan seorang pria setengah baya berpakaian rapi yang berdiri di dekat meja pemeriksaan paspor. Pria itu tidak mengenakan seragam imigrasi atau petugas pelabuhan. Menurut salah seorang TKI, ia adalah jaringan agen TKI tak berdokumen di Malaysia. Tugasnya berkoordinasi dengan petugas imigrasi sekaligus menjemput calon TKI di pelabuhan dan mengantar mereka ke tempat penampungan.
Beberapa saat kemudian, petugas imigrasi keluar lagi dari ruang kerjanya membawa kertas berisi daftar nama. Rombongan TKI pertama diizinkan masuk melalui salah satu loket imigrasi tanpa pemeriksaan paspor satu per satu, disusul rombongan TKI kedua.
Pintu aparat
Salah seorang TKI dari kelompok pertama, sebut saja Dedi (50), setiap bulan hilir mudik Johor-Batam. Agar urusan dengan pihak imigrasi lancar, ia dan rekan-rekannya wajib membayar iuran 175 ringgit Malaysia (Rp 490.000) per bulan.
”Yang menarik, yang dimintai iuran bulanan adalah orang Indonesia. Setiap bulan, dia mendatangi tempat-tempat kerja TKI yang masuk daftar. Uang hasil iuran kemudian diserahkan ke aparat Malaysia. Jadi, setiap bulan kami aman keluar-masuk Malaysia. Aparat Malaysia sudah punya daftar nama-nama kami,” kata Dedi yang asal Sukabumi, Jawa Barat.
Rombongan TKI kedua, yakni yang masih mencari kerja, masuk ke Malaysia menggunakan jasa agen jalur tikus. Meski bermodal paspor pelancong, mereka berharap keterangan paspornya bisa diubah menjadi izin bekerja sebagaimana dijanjikan agen.
Ongkosnya, menurut salah seorang TKI, sebut saja Lambang (35), senilai 2.800-3.000 ringgit Malaysia. Pembayarannya dengan cara dicicil, 200 ringgit Malaysia per bulan. Sementara upah yang dijanjikan agen kepada TKI sekitar 45 ringgit Malaysia per hari.
Kronologi tersebut tidak lebih dan tidak kurang adalah narasi pintu masuk TKI tak berdokumen yang bekerja atau ingin bekerja di Malaysia. Sementara aksesnya dibukakan oleh aparat setempat. Peristiwa ini ironisnya terpantau beberapa waktu lalu saat Pemerintah Malaysia tengah mengadakan pemutihan terhadap pendatang asing tak berdokumen.
Jadi obyekan
TKI tak berdokumen adalah sasaran empuk aparat Malaysia. Di pintu-pintu imigrasi, mereka milik petugas imigrasi. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka milik polisi.
Menurut Budi (25), TKI tak berdokumen asal Kediri, Jawa Timur, selalu saja ada polisi yang datang ke kantong-kantong TKI tak berdokumen setiap minggu atau bulan. Mereka meminta upeti dengan imbalan tidak melakukan penangkapan. Ada pula yang sengaja menunggu bubaran proyek pembangunan setiap sore hari.
”TKI ilegal itu mudah sekali dikenali. Misalnya di proyek-proyek bangunan, hampir semuanya ilegal. Terakhir, dua polisi mencegat saya dan kawan-kawan selepas kerja. Mereka meminta surat-surat. Namanya ’orang kosong’, tak punyalah kami. Mereka lalu minta uang 200 ringgit (Malaysia). Saya bilang, saya hanya punya 150 ringgit. Lalu, saya keluarkan dompet biar dia percaya. Saya katakan, kalau ringgit saya kasih semua, saya tak makan. Akhirnya, dia mau terima 100 ringgit,” kata Budi.
Kisah lain dituturkan Slamet, bukan nama sebenarnya, yang juga TKI tak berdokumen. Suatu siang, seorang polisi meminta telepon selulernya tanpa memberikan surat sita. Polisi beralasan, ponsel tersebut berisi gambar-gambar seronok. Beberapa negara bagian di Malaysia memang mengatur soal itu. Namun, menurut Slamet, negara bagian tempat ia bekerja tidak mengatur soal tersebut.
Analis kebijakan Migrant Care, Wahyu Susilo, menyatakan, salah satu masalah pada fenomena TKI tak berdokumen yang tak kunjung tuntas sampai saat ini adalah sistem di Malaysia yang membuka ruang adanya penyuapan. Di sisi lain, sistem tersebut terkesan dilestarikan karena beberapa pihak di Malaysia mendapatkan keuntungan.
”Disinyalir dan saya kira memang sudah menjadi rahasia umum bahwa pengguna TKI tak berdokumen di Malaysia menyetor ke aparat setempat. Sejauh TKI tak berdokumen masih dibutuhkan, pengguna akan menyetor ke aparat. TKI tak berdokumen akhirnya juga menjadi seperti ATM bagi aparat,” kata Wahyu.
Hukum di Malaysia, lanjut Wahyu, sebenarnya sudah menyebutkan bahwa siapa pun yang mempekerjakan pendatang asing tak berdokumen harus dijatuhi hukuman, mulai dari denda, penjara, sampai cambuk.
Persoalannya, hal itu jarang diterapkan. Mengacu catatan Migrant Care, dari 14.000 TKI yang masuk penjara, kurang dari 100 majikan berkewarganegaraan Malaysia yang ikut mendapatkan sanksi.
”Pemerintah Malaysia selalu punya standar ganda. Mereka hanya menegakkan hukum untuk warga asing, tapi tidak untuk aparat atau warga negaranya sendiri,” kata Wahyu.
Sumber :Kompas Cetak
0 comments:
Post a Comment
sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun