Thursday, November 10, 2011

Kenapa Bunga Bank Haram? bag.1

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Barangkali karena keterbatasan dalam memahami syariah, ada sebagian kalangan umat Islam yang bertanya-tanya tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam banyak transaksinya.

Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang berusah mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak, memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak mampu atau -mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secara jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya.

Kami akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban atas kelemahannya.

1. Alasan Pertama: Darurat

Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi. Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi [adhdharuratu tubihul mahzhurat] artinya dharurat itu membolehkan mahzurot/yang dilarang.

Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat orang yang dengan terpaksa membolehkannya.

Jawaban:


Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu [adhdharuratu tuqaddar biqadriha] artinya bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.

As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat, kita tidak akan celaka atau mati.

Sedang Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan kecuali daging **** yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah menghalalkan dengan dua batasan.

Tambahan: Seseorang yang tersesat di hutan tidak dibenarkan untuk memakanan makanan yang Haram seperti daging yang diharamkan dll, karena apa? Karena kita bisa memakan dedaunan dan juga buah-buahan sehingga alasan darurat itu tidak mungkin jika terjadi di hutan. Kecuali di tengah padang pasir tidak ada apa-apa yang ada cuman babi hanya yang jadi masalah mungkinkah di tengah padang pasir tiba-tiba ada babi liar muncul berkeliaran?

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging **** dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 173).

Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati :wataw: tidak ada makanan, justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat sudah tidak relevan lagi.

Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu:

Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991
Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan 20 cabangnya.

Konversi bank konvensional kepada bank syariah :

Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)
Bank Niaga (akan membuka cabang syariah)
Bank BNI 46 (telah memiliki 5 cabang )
Bank BTN (dalam perencanaan)
Bank Mega (akan menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)
Bank BRI (akan membuka cabang syariah)
Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di Aceh)
BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di Bandung)
BPD Aceh

Tambahan: Tidak ada bank yang tidak riba? Alasannya:
1. Bank Syariah itu menggunakan jaminan padahal syariah yang sebenarnya tidak ada jaminan bagi peminjam
2. Untung dan rugi di tanggung bersama, pada kenyataannya bank syariah sekarang tetap saja menagih untung dari peminjam walau bisnis peminjam uang itu lesu.
3. Tidak adanya laporan transparansi aliran dana untuk nasabah.
4. Transaksi tetap menggunakan uang yang pada dasarnya uang itu diciptakan dari hutang public yang ditanggung pemerintah dan ada bunganya.

2. Alasan Kedua: Yang Haram Adalah yang Berlipat Ganda

Ada pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. (QS Ali Imran: 130)

Jawaban:

Memang sepintas ayat ini hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih dalam serta dikaitkan dengan ayat-ayat lain secara lebih komprehensip, maka akan kita dapat kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak diharamkan. Paling tidak ada dua jawaban atas argumen di atas:

Kata adh'afa yang berarti berlipat ganda itu harus dii'rab sebagai [haal] yang berarti sifat riba dan sama sekali bukan syarat riba yang diharamkan. Ayat ini tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secara umum punya kecenderungan untuk berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Hal seperti itu diungkapkan oleh Syeikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk, penulis buku Ar-Riba wal Mua'amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiyah.

Perlu direnungi penggunaan mafhum mukholafah dalam ayat ini salah kaprah, tidak sesuai dengan siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu maupun sabda Raulullah SAW. Secara sederhana bila kita gunakan mafhum mukholafah yang berarti konsekuensi terbalik secara sembarangan, akan melahirkan penafsiran yang keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak boleh mendekati, berarti zina itu sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging ****, yang dilarang makan dagingnya, sedang kulit, tulang, lemak tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti semuanya halal? Tentu tidak.

Secarara linguistik kata adh'afa adalah jamak dari dhi'f yang berarti kelipatan-kelipatan. Bentuk jama'ah itu minimal adalah tiga. Dengan demikian adh'afa berarti 3x2 = 6. Adapun mudha'afa dalam ayat itu menjadi ta'kid atau penguat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat atau bunga 600 %. Secarara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.

3. Alasan Ketiga: Yang Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum

Bank adalah sebuah badan hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat beban (taklif) dari Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf antara lain: akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan tamyiz. Artinya bukanlah mukallaf. Sehingga praktek bank tidak termasuk berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat riba turun di jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan. Dengan demikian bank LIPPO, BCA, Danamon dan lainnya tidak terkena hukum taklif, karena pada saat Nabi hidup belum ada.

Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah Workshop on Bank and Banking Interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990.

Jawaban:

Argumen ini memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu:

a. Tidak benar bahwa pada zaman nabi tidak ada badan keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.

b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhshiyyah hukmiyah. Juridical personality ini sah secarara hukum dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.

c. Bank memang bukan insan mukallaf, tetapi melakukan amal mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs dan narkotika tidak berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah lembaga dan bukan insan mukallaf.

Demikian juga lembaga keuangan, apa bedanya dengan seorang rentenir pemakan darah masyarakat? Bedanya, yang satu seorang individu yang beroperasi tingkat RT dan RW, sedang yang lainnya adalah kumpulan dari individu-individu yang secara terorganisis dan modal raksasa melakukan operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala nasional bahkan internasional dan mendapat aspek legalitas dari hukum sekuler.

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun