Thursday, November 3, 2011

FCTC yang Dipelintir


KOMPAS.com — Setelah mencatat kematian akibat tembakau mencapai 6 juta orang per tahun, terutama di negara-negara berkembang, pada 1999 beberapa anggota WHO mendesak Organisasi Kesehatan Dunia itu agar mengambil kesepakatan untuk mengendalikan dampak tembakau.

Pemerintah Indonesia ikut aktif dalam rapat-rapat Intergovernmental Body selama tahun 2000-2003, diwakili oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Luar Negeri. Akhirnya, lahirlah kesepakatan yang disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang tujuannya adalah mengendalikan perdagangan rokok agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat.

Landasan penyusunan kesepakatan itu adalah Pasal 19 anggaran dasar WHO tentang wewenang untuk mengeluarkan kesepakatan yang mengikat (binding treaty) di antara para anggota yang ditujukan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan rakyat. Kecanduan tembakau dan penyakit yang ditimbulkannya sudah dianggap sebagai epidemi yang menimbulkan banyak korban jiwa.

Industri rokok sudah pasti menentang FCTC ini meskipun secara diplomatis mereka menyatakan mendukung upaya pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan. Di Indonesia, penentangan itu dilakukan secara terbuka, antara lain dengan mendesak Pemerintah RI agar tidak menandatangani FCTC. Demikian kuatnya lobi mereka sehingga Menteri Kesehatan RI yang hendak berangkat ke Geneva untuk menandatangani dibatalkan oleh Presiden pada detik-detik terakhir. Saat ini, di dunia, tinggal Indonesia dan Zimbabwe yang tidak menandatangani FCTC, sementara negara-negara beradab di sekitar kita (termasuk Timor Leste) sudah menandatangani.

Upaya menolak FCTC dan pengaturan pengendalian dampak rokok terhadap kesehatan itu di Indonesia masih berlangsung sampai sekarang, antara lain dengan pemelintiran persepsi. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)—yang merupakan pelaksanaan UU Kesehatan Tahun 2009—yang hendak mengatur dampak buruk rokok pun tak jelas nasibnya. Bahkan, ayat tembakau yang dinyatakan zat adiktif di UU Kesehatan sempat dihilangkan, diduga karena ada kerja sama oknum di DPR, Kementerian Kesehatan, dan industri rokok. Mana wibawa pemerintah jika terus tunduk pada agitasi dan lobi industri rokok?

Mitos mematikan petani
Pemelintiran pertama melalui mitos bahwa pengendalian perdagangan rokok akan mematikan petani tembakau dalam negeri. Mitos ini disebarkan untuk membelokkan pengertian tentang FCTC dari perlindungan kesehatan ke mematikan nafkah petani tembakau. Tidak diungkapkan bahwa kebutuhan tembakau untuk rokok saat ini pun lebih banyak dipenuhi dengan impor.

Data BPS menunjukkan bahwa tahun 2007 kita mengimpor tembakau senilai 133,5 juta dollar AS, sebagian besar dari China. Bahkan, mengimpor dari Singapura senilai 4,4 juta dollar AS meskipun negeri ini tak memiliki lahan tembakau.

Para petani tembakau kemungkinan besar tak diberi tahu mengenai hal ini. Seandainya pun FCTC mengurangi kebutuhan tembakau, yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah mengurangi impor.

Pada saat ini posisi tawar petani tembakau terhadap industri rokok sangat rendah karena mereka tidak dapat menjual produknya kecuali ke pabrik rokok sehingga pabrik rokok dapat mendikte harga beli. Maka, yang jadi pertanyaan, benarkah keengganan pemerintah meratifikasi FCTC demi melindungi petani tembakau?

Mengancam tenaga kerja?
Pemelintiran kedua adalah bahwa FCTC akan mengancam tenaga kerja di pabrik rokok. Selama ini sudah banyak pabrik rokok kecil yang tutup meskipun FCTC belum ditandatangani. Mereka runtuh akibat kalah bersaing dengan pabrik yang besar. Data BPS tahun 2005 mengungkapkan, jumlah pekerja industri rokok adalah 259.000 orang, tidak jutaan seperti yang dipelintirkan penentang FCTC. Upah mereka pun hanya 62 persen upah pekerja di sektor industri yang lain.

Alasan lain menolak FCTC adalah karena pemerintah sudah menyusun roadmap produksi rokok bersama dengan pemilik pabrik rokok. Akan tetapi, pemerintah lupa bahwa dalam menyusun roadmap ini hanya pihak produsen yang dilibatkan, sementara konsumen tidak terwakili. Roadmap ini menargetkan untuk memperbesar produksi rokok menjadi 265 miliar batang pada tahun 2015. Baru nanti sesudah tahun 2015, aspek kesehatan rakyat akibat rokok akan diperhatikan.

Peningkatan jumlah produksi berarti harus diiringi dengan peningkatan jumlah konsumsi. Dengan kata lain, pemerintah menghendaki agar lebih banyak lagi jumlah perokok di Indonesia dan targetnya adalah anak-anak dan remaja.

Baru kali ini ada pemerintah yang memilih mengorbankan kesehatan rakyatnya sendiri demi kepentingan kapitalis, pemilik modal pabrik rokok. Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati hari ini lagi-lagi tanpa komitmen nyata Pemerintah RI.

*Kartono Mohamad, Mantan Ketua Umum PB IDI; Wakil Ketua Panitia Pengarah Pengendalian Tembakau (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)

Oleh Kartono Mohamad*

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun