Thursday, November 10, 2011

Muawiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah

Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.

Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.

Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan, yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.

Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang penyatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.

Terkisah, kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras.

Namun, teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.

Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.

Muawiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam, misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil. Pada tahun 653, Muawiiyah membangun benteng-benteng di perbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh.

Hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang Khalifah. Muawiyyah termasuk pemimpin daerah yang paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yang membunuh Khalifah Usman.

Pembunuhan Usman itu sendiri boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yang tidak suka pada kebijakan sang Khalifah. Ada yang tidak suka karena kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Usman memecat sejumlah pejabat yang dinilai sebagai administrator yang piawai. Pembunuhan itu sendiri berlangsung pada 655, setelah sebelas tahun Usman memegang tampuk kepemimpinan umat Islam.

Pembunuhan Usman itu menandai semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyyah. Seperti diketahui, sebagian besar umat kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Usman. Tapi, kenyataan ini ditampik oleh Muawiyyah. Ia secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah Usman dihukum.

Ali sendiri saat menerima tampuk kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Usman. Ia bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh Usman. Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui kepemimpinannya, termasuk Muawiyyah.

Sikap Khalifah Ali itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yang mendukung dan ada yang menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh yang nyata-nyata musuh umat. Maka, selain Muawiyyah, tampil tiga pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah, Zubair, dan Thalhah.

Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan Muawiyyah. Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam. Sementara Muawiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya. Muawiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.

Pertempuan kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Muawiyyah sudah terdesak. Dengan siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Muawiyyah mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.

Siasat itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Muawiyyah. Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili oleh Abu Musa al-Anshari, sedangkan Muawiyyah diwakili Amru bin Ash. Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Muawiyyah. Tapi, ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.

Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan hukum Allah.

Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661. Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat itu, Muawiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus.

Lolos dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Muawiyyah untuk lebih mengokohkan kekuasaan. Pada masa itulah berakhirnya model pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah lalu dilanjutkan oleh Khulafa Urrasyidun. Muawiyyah menyanangkan berdirinya Dinasti Bani Umayyah dan dialah raja pertamanya. Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.

Sejalan dengan itu, di kubu Muawiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah. Kaum yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki sebagai kaum Jabariyah. Ibnu Abdul Bar

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun