Thursday, November 10, 2011

Tjoet Njak Dien: Pejuang Tanah Rencong

Nama Tjoet Njak Dien rasanya tak asing dengan sosok pejuang Aceh yang penuh dengan keberanian dan dedikasi. Tidak mengada-ada bila orang mengasosiasikan sosok pejuang wanita ini sebagai karakter umum masyarakat Aceh.

Masyarakat Aceh dikenal dengan ketaatannya pada nilai-nilai agama. Masjid Raya Baiturrahman seolah menjadi simbol akan ketangguhan aspek religius masyarakat tersebut. Di balik kereligiusan itu tersimpan daya juang tinggi untuk mempertahankan negara dari penjajah.

Dilahirkan tahun 1848, dari keluarga kalangan bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, Ulelebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri Ulelebalang (sebuah jabatan kebangsawanan) Lampagar. Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan oleh orang tuanya, juga oleh para guru agama. Pengetahuan kerumahtanggaan baik memasak maupun hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari didapatkannya dari ibunda dan para kerabat. Tidak heran, pengaruh didikan agama yang kuat dan didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dien memiliki sifat tabah dan teguh dalam pendiriannya.

Di usia belia, ia dinikahkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari Ulelebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan dengan mengundang penyair terkenal Abdul Karim untuk membawakan syair-syair religius dan mengagungkan aktivitas heroik dan patriotik, sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan imperialisme dan kolonialisme (Snouck Hourgronje,1985:107).

Dalam Perang Aceh tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut berperang di garis depan. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan sang belahan jiwa berjuang dengan selalu memberinya semangat. Untuk mengobati rasa rindunya ia menyanyikan syair yang menumbuhkan semangat perjuangan sambil menggendong buah hatinya.

Tahun demi tahun peperangan kian berkecamuk, seakan bagai tiada henti. Keunggulan Belanda dalam hal persenjataan dan juga karena adanya unsur pengkhianatan, menyebabkan benteng pertahanan Aceh satu-persatu berjatuhan, termasuk Kuta (benteng) Lampadang.

Karena terdesak, Tjoet Njak Dien beserta keluarganya terpaksa mengungsi. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur, konon penyebab kematian suaminya ini karena penghianatan Habib Abdurrahman.

Sepeninggal suaminya, semangat juangnya kian berkobar. Ia menggantikan peran suaminya saat serangan Belanda ke Meulaboh tahun 1899. Di sinilah Tjoet Njak Dien memulai perjuangannya hingga ke hutan belantara.

Peperangan besar terus berlangsung di bawah kepemimpinan Tjoet Njak Dien. Segala harta benda yang masih tersisa, dengan dedikasi tinggi ia korbankan untuk membiayai persenjataan. Namun, karena keadaan yang tak seimbang dalam persenjataan dan pasukan, akhirnya pasukan Tjoet Njak Dien makin melemah.

Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara karena terlalu lama hidup di dalam hutan dengan makanan yang benar-benar seadanya. Ditambah lagi usia yang kian lanjut yang mengakibatkan kesehatannya makin menurun.

Akhirnya, dalam kondisi yang lemah dan rabun, ia tertangkap oleh Belanda dan sempat beberapa waktu ditahan di Sumedang, Jawa Barat. Dengan pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya, sebuah tasbih yang tak lepas dari tangannya, dan sebuah periuk tempat nasi dari tanah liat, ia berjalan membawa kemuliaan bangsanya menuju terali besi. Melihat tampilan yang seperti itu, Bupati yang menawannya tidak sampai hati menempatkan dirinya di penjara, yang kemudian memindahkannya ke sebuah rumah di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama setempat, perempuan itu tinggal dan melewatkan sisa waktu penahanannya.

Sebagai tawanan politik, Tjoet Nyak Dien jarang keluar rumah. Namun banyak dari kalangan ibu dan anak-anak setempat yang datang mengunjunginya, untuk belajar mengerti dan mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Di antara mereka yang datang, tak jarang ada yang membawakan makanan atau pakaian. Selain karena menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu—panggilan masyarakat Sumedang terhadap Tjoet Nyak Dien—tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan dengan penuh penghormatan di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia berkumandang.

Perjuangan Tjoet Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan perjuangan wanita ini. Zentgraaff misalnya, mengatakan bahwa para wanitalah yang merupakan “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal “Grandes Dames” (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Kebangsawanan Tjoet Nyak Dien ternyata tidak membuatnya memanfaatkan nama besar dan gelar tersebut untuk kepentingan pribadinya. Justru yang muncul adalah ketangguhan dan mental yang kuat bahkan dalam situasi yang paling memprihatinkan. Layaknya sifat ini menjadi teladan bagi generasi kini, terutama kaum perempuan. (Mardiana, dari berbagai sumber)

0 comments:

Post a Comment

sabar ya, komentar anda akan kami moderasi terlebih dahulu. laporkan kepada kami apabila ada post yang masih berbentuk kiri ke kanan. nuhun